mereka bilang waktu selalu dapat menyembuhkan rasa sakit. maka aku menuggunya, menunggunya dan menunggunya. berharap ia akan berangsur meluruh bersama rekaman wajahnya. tapi nampaknya mereka berbohong.
mungkin benar, waktu mengantarkanku ke tempat dan era yang berbeda. tapi rasa sakit itu sangat nyaman bersemayam di tempatnya. dan ia berangsur memenuhi seluruh isi rumahku.
aku biasanya melarikan diri, mencari sebuah persembunyian atau pengalihan. tapi kali ini nampaknya aku tak berhasil. ia masih menemuiku di pagi hingga malam hingga sampai ke mimpiku.
aku ingin sekali berhenti, berdamai dan memaafkan. tapi aku tak tahu bagaimana caranya. aku tak tahu harus memulai dari mana, dari bagian sebelah mana.
terkadang pada hari-hari tertentu, aku merasakannya teramat sangat. bahkan angin yang masuk di celah-celah bajuku saja begitu sangat menyakitkan. hingga satu tetes hujan yang tak sengaja jatuh di pergelangan tanganku ketika membukakan payung saja bisa sampai ke ulu hatiku. entah sejak kapan aku begitu rentan. lebih rentan dari selaput telur setengah matang.
aku melepaskannya. meski aku tidak ingat kapan. waktu itu aku berniat mematikan satu lampu, memencet satu saklar supaya ia padam. aku tak sadar dengan memencet satu saklar itu aku menyerahkan semua cahaya di rumahku. hingga gelap kini menyelimutiku. aku lupa di mana saklar itu berada. aku melupakannya.
aku tak memiliki hati yang besar. melihatnya bahagia tak lantas membautku bahagia. aku menderita. meski melihatnya tersenyum selalu memercikan setitik kebahagiaan, tapi hal itu tak cukup merengkuh seluruhku.
aku melepaskannya. dan seharusnya aku bahagia.
