mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, ,

Perempuan yang Menyenangi Sembunyi: Jingga

Kali ini yang ingin ku ceritakan adalah Jingga. Seorang gadis yang senang bersembunyi. Tempat yang paling ia sukai adalah pojokan di Toko Buku, dan hal yang paling ia senangi adalah berdiri di balik jendela memendangi hujan yang rintik atau yang mengguyur deras.

Ketika hatinya mulai didatangi oleh banyak rasa, hal pertama yang ia pahami adalah menulis. Bukan seperti teman-temannya yang lain yang berkumpul untuk berbagi ketika mengalami hal serupa. Ia merasa lebih senang bergaul dengan kertas dan pena. Dan ia memang menulis untuk dirinya sendiri. Sekedar untuk mendamaikan hatinya yang kadang-kadang terlalu ramai dan sesak.

Bersama waktu ia tumbuh dengan cukup baik. Ia menjadi gadis yang menyenangi bepergian dan hal-hal baru. Dari sanalah ia menemukan banyak hal. Seperti, bahwa berkumpul dengan orang lain ternyata tidak begitu buruk. Ia dapat merasakan sebuah kebahagiaan meski hanya dengan memungutnya. Meski begitu, di tempat biasa ia berkumpul ia tidak dapat menaruh hal-hal yang membuat hatinya terlalu ramai dan sesak. Di sana ia hanya dapat mengalihkannya saja. Melupakan sejenak. Dan ia tetap melakukan ritual menulis.

Pada waktu berikutnya ia mulai menyadari ada hal yang harus ia bagi bersama orang lain. Ketika itulah ia belajar untuk menulis bukan hanya untuk dirinya saja. Maka dia berkenalan dengan sebuah Toko Buku. Sebuah tempat yang kini menjadi tempat kesukaannya.

Di sana, di Toko Buku itu ia menyenangi tempat paling pojok. Karena hanya di pojokannya itulah ia dapat menemukan aksara-aksara yang dapat mewakili hasratnya untuk berbagi. Aksara-aksara yang menyembunyikan rasanya.

Ketika beberapa tamu datang untuk memasuki rumahnya ia senang bukan kepalang. Namun ketika ia mulai diajak mengobrol ia hanya sanggup menjadi penonton. Dan setiap tamu yang datang ia suguhi dengan kertas-kertas yang berisikan aksara yang ia buat di pojokan toko buku. Tak ayal banyak tamu yang tak pernah kembali lagi ke rumahnya.

Ia tidak pernah mengerti kenapa ia bisa serumit itu. Dan semenjak itulah ia menjadi begitu senang berada di balik jendela.


Pnd, at The Last Sunday on March.

Share:
Read More
,

Kedatangan Hening


Setiap hening datang
Ada tawa riang di seberang yang membising
Ada bunyi-bunyian nyaring yang sengaja dipasang di telinga
Sekejap isi kepala riuh bergemuruh

Maka sesak itu merambat
Menahan gerimis yang hendak menderas

Ada yang memaki ketidak mengertian
Ada yang terpojok dalam sudut gelap
Ada yang berlari dalam jalanan tak bertepi
Ada yang berenang dalam lautan

Mereka berada dalam layar putih lebar
Mereka adalah keberadaan yang menginginkan penonton

Setiap hening datang
Sekejap isi kepala riuh bergemuruh


Pnd, at the last Sunday on March.
Share:
Read More

Percakapan di Dinding MedSos Biru dengan Ig. Ananta

Beberapa hari atau minggu lalu ada sebuah percakapan yang menarik di dinding MedSos Biru milik saya. Dan saya ingin sedikit berbagi dengan kalian.

Selamat menikmati:

Me: Berkaca untuk melihat binaran mata. Namun nihil, yang tampak hanya sunggingan senyum hasil memungut satu-dua kelakar dari seberang dan tetangga sebelah.

Ig. Ananta: Pemikiran dalam impian tak bertitik dan kelam, terapung dalam pautan harapan terbang dalam mimpi-mimpi bernaung setan bersayap malaikat. Lidah-lidah api yang bergejolak sementara cambuknya tak bertuan.

Me: Rindu pada candaan rembulan saat menaungi anak-anak saling berkejaran kadang memuakan. Dan nyali yang menciut melihat jalanan di depan sana berkabut kadang menyenangkan. Namun pertaruhan tidak akan pernah bisa selesai jika setiap saat adalah hari Minggu, sengaja bermimpi untuk kembali meringkuk dalam rengkuhan selimut.

Ig. Ananta: Hembusan angin panas di gelap malam, cahaya rembulan berselimut racun kegelapan, belati tak bertuan menunggu pada kehidupan berantai dogma.

Me: Bahwa barang sedetikupun beranjak dari nyaman yang terasing, seribu pasang mata bersiap menunjukan seringai dan telunjuk mereka. Namun, di belakang sana senantiasa ada harapan yang mengucur deras. Jadi sejauh apapun tungkain kaki hendak terayun, selelah apa pun ia melangkah, sesakit apapun kerikil menusuk telapaknya. Itu akan terbayar dengan menuai padi ranum dari ketulusan sang penabur.

Ig. Ananta: Langkah kaki di deruan sang maut, tak berujung memadam kian berapi dalam seruan, pikiran yang terhalang durjana kehidupan terbelenggu rangakaian makna dan dogma, tersisih tapi terancam, merajut semua kelam dalam bimbang dituntun oleh malaikat berbau setan menggenggam duri mawar yang tak lagi menyakitkan.

Kehidupan adalah merupakan rumusan probabilitas yang diciptakan oleh pelakunya sendiri. Dan dapat terefleksikan sebagaimana keinginan dan kemauan si pemeran utamanya. Jadi, sebetulnya hidup akan menjadi mudah jika kita menginginkannya. Tapi, akan menjadi sangat rumit ketika kita mengabaikannya.

Salam,
Dewi


Share:
Read More
, ,

Perempuan yang Takut Jatuh: Mala

Biar kuceritakan sedikit tentang Mala, perempuan yang takut jatuh. Baginya jatuh terlalu beresiko. Bahkan sekedar menitipkan sebagian rasa percayanyapun ia ragu.

Ia beranjak dewasa dalam Deburan Pantai dan Selimut Lembayung Senja. Kepada merekalah kasih sayang alaminya ia tumpahkan. Terkadang Deburan Pantai terlalu riuh baginya, bagai tsunami bahkan suatu ketika. Sedangkan Selimut Lembayung Senja adalah panorama yang bahkan disentuhpun tak bisa, terlalu jauh untuk digapai.

Dari merekalah ia mendapati ketakutan, dan belajar bertahan dalam dingin. Dengan cukup lama. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Tangan Lembut nan Hangat yang mengajarkannya mengasihi. Dan ia tergiur untuk belajar.

Ia belajar perlahan (sesungguhnya ia memang perempuan yang diaugerahi rasa keingintahuan), menyaksikan, mengamati dan memahami, baru kemudian ia mulai mempraktikan. Ternyata mengasihi tak sesulit yang ia bayangkan, dan ia dengan mudah memberikan rasa percayanya kepada si Tangan Lembut nan Hangat.

Sesederhana itu ia melakukannya.

Berjalan beberapa bulan ia mulai terbiasa dan menyenanginya. Nyaman fikirnya. Tapi, jalanan tak selalu mulus bukan? Dan ia bertemu dengan kelokan di depan sana, beserta kerikil yang memenuhi jalanan. Ia berpeluh, kadang bahkan telapak kakinya berdarah. Namun, ia perempuan tangguh yang telah terbiasa berlaku dingin. Meski terkadang meraung ingin berontak, ia tetap percaya. Karena fahamnya menempatkan ia untuk tak pernah mencabut apa yang pernah ia tanam.

Masih bisa teratasi.

Lantas dibagian inilah ia meringkuk kembali. Yaitu pada sebuah rasa takut kehilangan. Bukan takut karena tak akan ada lagi yang mengasihinya, atau tak akan ada lagi yang memperhatikannya, atau mungkin tak akan ada lagi yang menemaninya. Bukan itu, ini bukan tentang keegoisan. Ini lebih seperti rasa takut ia tak dapat lagi menemui saat-saat dimana hatinya merekah karena mendapati orang yang ia sayangi tersenyum bahagia, atau rasa takut karena mendadak ia tak ada artinya karena tak dapat melakukan apa-apa untuk orang yang dikasihinya.

Maka kali ini lagi-lagi ia diam. Entah dalam takut atau apa? Ia hanya menengadah dan menadahkan tangan. Ia bukan tipe perempuan yang suka berontak, karena ia tak terbiasa dengan rasa bersalah. Ia hanya mampu berusaha lewat cara ini, meminta untuk selalu diberikan  kekuatan dan kelapangan dada. That's it.

Catatan: Namun jangan pernah sekalipun mengatakan ia perempuan yang tidak berusaha.
Share:
Read More