Pagi itu saat pertama kali kumembuka pintu rumah, kulihat ada sebuah undangan tergeletak di depannya berisikan undangan buka bersama. Aku hanya mendesah, karena aku masih harus masuk kantor meski hari itu adalah hari terakhir berpuasa. Aku tak yakin bisa menghadirinya.
Aku masuk kantor dengan hati resah, ingin rasanya menghadiri buka bersama tersebut. Karena aku yakin akan ada teman-teman lamaku di sana dan tak hanya teman di sana pun akan dihadiri sahabat-sahabtku.
Untungnya ketika sore meniba tak ada pekerjaan yang mendesak harus aku selesaikan sehingga aku dapat segera pulang cepat. Karena sebelumnya aku tidak berjanji untuk datang, maka aku melajukan motorku dengan tergesah. Takut kalau mereka meninggalkanku duluan.
Pada akhirnya aku tiba juga di tempat acara. Aku menelepon sahabat yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri agar segera menghampiriku di pinggir jalan. Karena aku tak tahu letak mereka berkumpul di mana. Ia datang dengan sedikit kening berkerut.
"Kamu dateng juga?" Tanyanya tampak keheranan.
"Iya." Jawabku singkat.
"Oh... Di dalem ada Fikrijuga kok." Jelasnya.
"Hehhh?" Aku terkaget juga nama itu di sebutkan dan lututku serasa melemas sesaat. "Regina ada juga?" Tanyaku lagi. Pasti ada lah.
"Iya, ada juga." Jawabnya.
"Oh... Ya udah ayo cepat ke sana, takut keburu adzan."
Aku berjalan dengan hati gemetar. Kebetulan yang menyenangkan. Ketika ada rindu yang membeku berharap satu tatap dan satu sapa saja dapat mencairkannya dengan segera.
Saat pertama kali melihatnya kembali setelah 2 tahun lalu. Segalanya serasa terhenti, hanya hening yang berada di sana. Jabatan tangannya tak dingin namun tak juga hangat. Mata itu masih menatap dengan cara yang sama, bibir itu masih tersenyum dengan cara yang sama, hanya saja sepertinya wajahnya tampak memutih.
Waktu masih serasa terhenti ketika aku makan, ketika aku bercakap dengan kawan dan sahabat-sahabatku. Segalanya masih dengan hening. Ada pandangan yang aku curi dengan sengaja. Kamu masih sama.
Sesaat sebelum ia menjabat tanganku untuk kemudian pergi meninggalkan bayangan punggung yang semakin menjauh dan menghilang, angin masih meniupkan keheningan. Lantas tak kukira setelah jabatan itu terlepas guntur bergemuruh terasa begitu dekat. Kurasa hujan akan segera menderas.
Ada yang tak cukup, ada mata yang masih ingin menatapnya lama, ada cakap yang begitu banyak ingin terucap, kurasa secangkir kopi saja tak akan cukup menampung segala cerita. Rindu itu masih saja membeku dan kini semakin dingin merengkuh sekat-sekat di hatiku.
Tak ada yang mencair, di sana hanya ada ingin yang semakin. Mungkin 'tak usah' lebih baik, jika setelahnya ada ingin yang lebih dan lebih.
No comments:
Post a Comment