mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, ,

Seperti Pagi

Daun bertahan untuk kelak dilepaskan, untuk kelak diinjak ribuan kaki yang hilir-mudik di jalanan. Ia bersiap untuk jatuh, namun kuyakin ia tak pernah selesai dengan persiapan itu.

Susu kental putih tak pernah berubah, semenjak dulu samapai sekarangpun ia tetap sama dengan rasa serupa. Ia dilirik ketika sudah tak ada lagi susu lain yang tak bisa diminum.

Maka pagi adalah serupa seperti itu semenjak dulu matahari pertama kali terbit sampai dengan sekarang. Maka jadilah pagi kelak, meski tetap serupa tapi ia satu dan tetap dicinta.

Maka sederhanalah seperti pagi.
Share:
Read More
,

Belukar Dalam Isi Kepala

Tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan. Rutinitas yang semakin sering aku lakukan di Dunia yang tidak gratis ini. Himpitan muncul dari segala penjuru. Menjadikan tumpul yang bebrada di dalam kepala. Ingin rasanya kutelusuri dan kukorek-korek apakah yang menjadi sampah di sana? Kenapa begitu memuakan dan membuatku ingin muntah. Adakah dosa-dosa di sana menumpuk? Benarkah ini adalah cicilan penebusan?

Ingin rasanya lari sejauh mungkin dan selama mungkin. Jika boleh ingin ku tumpahkan semuanya. Biar dapat kulihat apa sebetulnya yang menjadikan segalanya tampak seperti belukar, hutan rimba yang tak memiliki jalan keluar.

Orang wajar memiliki rasa bersalah, namun ketika itu bahkan menjadikannya sebuah tanggungjawab yang tidak seharusnya. Haruskah tetap bersikeras? Atau mungkin beberapa dari mereka dan beberapa hal yang menjadi benang merahnya tak dapat dipahami. Bertanya itu adalah hal yang wajar pula, yang namanya malas baru itu kurang ajar.

Setiap fungsi yang berada dalam tubuh dan jiwa manusia bukankah memiliki titik maksimal penggunaannya. Jadi manusia jelas memiliki batas. Namun mungkin bagi sebagian manusia memaksakan adalah sebuah hal yang menarik.

Menyerah kadang juga menjadi hal yang terbaik. Namun, tanpa mencoba itu adalah hal yang terburuk.
Share:
Read More

Dunia Saat Ini Ingin Pamrih

Pagi ini, seperti pagi akhir-akhir ini, menghirup udara yang digratiskanpun terasa menyesakan. Makin ke sini makin aku merasa dunia tak lagi dibebaskan bagi orang-orang yang tidak memiliki kontribusi kepada masa sekarang. Kali ini aku merasa bahwa Dunia begitu ingin pamrih. Tidak ada yang gratis jaman sekarang. Bahkan untuk sekedar menikmati kesendirian pun terasa tak nyaman, ada seseorang yang mengintai dibelakang sana, dan ketika kau lengah ia siap menagihmu dengan cecaran pertanyaan. Apalagi untuk melarikan imaji ke manapun yang ia mau, terlalu mengerikan, karena tiap kali ia akan melesak sesukanya yang ditemuinya hanya jeruji besi di mana-mana.

Kapan bisa terbebas dari "yang tidak gratis" ini?

Kalau menengok ke buku, banyak sekali teori yang bisa menjawabnya. Tapi dalam hal praktek dan kenyataannya bahkan itu tak sebanding dengan mengayuh sepeda di tanjakan. Itu lebih sulit dari hanya sekedar mengayuh sepeda.

Satu-satunya cara untuk melarikan diri hanya dengan menonton dan membaca. Meski hanya sekejap tapi paling tidak itu dapat melarikanku dari masa sekarang, menghantarkanku memasuki dunia lain. Mereka adalah pelarian jitu ketika isi di kepala didominasi oleh jeruji-jeruji besi.

Tapi paling tidak aku punya alasan kenapa aku memilihnya. Meski "saat ini" adalah sebaik-baiknya tempat untuk melakukan yang kita inginkan, kadangkala harapan atau mimpi akan hari esok memang terlihat sangat menggiurkan. Dan aku bertaruh untuk itu.

Share:
Read More