mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, ,

Perempuan yang Takut Jatuh: Mala

Biar kuceritakan sedikit tentang Mala, perempuan yang takut jatuh. Baginya jatuh terlalu beresiko. Bahkan sekedar menitipkan sebagian rasa percayanyapun ia ragu.

Ia beranjak dewasa dalam Deburan Pantai dan Selimut Lembayung Senja. Kepada merekalah kasih sayang alaminya ia tumpahkan. Terkadang Deburan Pantai terlalu riuh baginya, bagai tsunami bahkan suatu ketika. Sedangkan Selimut Lembayung Senja adalah panorama yang bahkan disentuhpun tak bisa, terlalu jauh untuk digapai.

Dari merekalah ia mendapati ketakutan, dan belajar bertahan dalam dingin. Dengan cukup lama. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Tangan Lembut nan Hangat yang mengajarkannya mengasihi. Dan ia tergiur untuk belajar.

Ia belajar perlahan (sesungguhnya ia memang perempuan yang diaugerahi rasa keingintahuan), menyaksikan, mengamati dan memahami, baru kemudian ia mulai mempraktikan. Ternyata mengasihi tak sesulit yang ia bayangkan, dan ia dengan mudah memberikan rasa percayanya kepada si Tangan Lembut nan Hangat.

Sesederhana itu ia melakukannya.

Berjalan beberapa bulan ia mulai terbiasa dan menyenanginya. Nyaman fikirnya. Tapi, jalanan tak selalu mulus bukan? Dan ia bertemu dengan kelokan di depan sana, beserta kerikil yang memenuhi jalanan. Ia berpeluh, kadang bahkan telapak kakinya berdarah. Namun, ia perempuan tangguh yang telah terbiasa berlaku dingin. Meski terkadang meraung ingin berontak, ia tetap percaya. Karena fahamnya menempatkan ia untuk tak pernah mencabut apa yang pernah ia tanam.

Masih bisa teratasi.

Lantas dibagian inilah ia meringkuk kembali. Yaitu pada sebuah rasa takut kehilangan. Bukan takut karena tak akan ada lagi yang mengasihinya, atau tak akan ada lagi yang memperhatikannya, atau mungkin tak akan ada lagi yang menemaninya. Bukan itu, ini bukan tentang keegoisan. Ini lebih seperti rasa takut ia tak dapat lagi menemui saat-saat dimana hatinya merekah karena mendapati orang yang ia sayangi tersenyum bahagia, atau rasa takut karena mendadak ia tak ada artinya karena tak dapat melakukan apa-apa untuk orang yang dikasihinya.

Maka kali ini lagi-lagi ia diam. Entah dalam takut atau apa? Ia hanya menengadah dan menadahkan tangan. Ia bukan tipe perempuan yang suka berontak, karena ia tak terbiasa dengan rasa bersalah. Ia hanya mampu berusaha lewat cara ini, meminta untuk selalu diberikan  kekuatan dan kelapangan dada. That's it.

Catatan: Namun jangan pernah sekalipun mengatakan ia perempuan yang tidak berusaha.
Share:

3 comments:

Dave said...

jiwa-jiwa terluka terlahir diantara kepedihan dan diselimuti hangatnya pelukan matahari yang tak bercahaya,sedang para malaikat malam telah menjemput untuk menempatkan jiwaku bersama iblis yang berpesta dihancurnya malam dengan minuman racun sebagai suguhan,terpaksa menangis didalam rumah kosong dengan seribu mawar beraroma wangi menyeruak masuk dengan sedikit berontak,tak satupun malaikat bersedih menyaksikannya...sendiri dalam renungan dengan tulisan tak bermakna seakan tak berharap semuanya hanya diam dalam pelukan.

Susanti Dewi said...

Tapi kadang ketika apa yang dilihat pertama kali adalah hamparan danau bergambarkan neraka, hal paling menyenangkan adalah memutar arah atau hanya sekedar kembali meringkuk. Meskipun disadari bahwa penanggalan jawa menunjukan malam ini merupakan malam ke 14.

Dave said...

satu kalimat dalam lirik yang terdengar bergema dalam hati " Menangislah di Surga dan berperang lah di Neraka " apakah itu? haruskah? terbesit tanya yang selalu mengganggu seakan ingin meledakkan kepala batu ini, berjuang dan bertarung bak seperti pahlawan, berharap sebuah pelukan senja yang dapat meremukkan angkasa yang murka nantinya.