mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, ,

Cerita Kita Part 1

28 Mei 2010, 17.35 

"Gi, lu tahu gak kalo Dieya dah punya cowok?” Rega memulai percakapan sore itu. Di teras kosan BuGi yang masih dilengkap lampu pijar. Temaram sore memang jadi tongkrongan paling menyenangkan bagi mereka berdua di tambah satu lagi sahabat cewek mereka yang bermnama Dieya. Yang sekarang akan mulai mereka perbincangkan.


“Hah… Si Cewek aneh itu dah punay cowok? Sejak kapan? Emang ada yang mau sama dia?” BuGi mengerenyitkan dahi, dia terkekeh sendiri mendengar si Aya sudah punya pacar. 

Bagi BuGi, Dieya adalah cewek aneh yang alergi sama cowok. Karena selain galak Dieya juga tidak pernah terlihat ngobrol dengan cowok-cowok di sekolah,  selain dengan BuGi dan Rega. Pengecualian untuk anak-anak basket yang sering latihan bersama dengan Dieya. Jadi wajar saja jika BuGi merasa ada yang sedikit ganjil dengan pernyataan Rega tadi.

“Heh, gitu-gitu dia lebih popular dari pada cewek-cewek lain di sekolah kita tau. Kecuali Geng Keong.” Rega menimpali.

“Maksudnya populer karena ke anehannya? Hahahaha”. BuGi tertawa dengan puas. “Sori, bukan gua gak percaya sama lu. Tapi gua lebih gak percaya sama Dieya.”

“Eh… Bener tau dia dah punya cowok. Tapi terserah. Lu mau percaya apa enggak. Gua cuma berbagi kabar gembira atas kebahagiaan yang sedang dirasakan sahabat kita. Cowoknya anak SMA sebelah. Kalau lu gak percaya tanya anak-anak deh!"

BuGi mencerna pernyataan Rega sekali lagi.

Aya dah punya cowok? Sejak kapan? Kenapa dia gak pernah cerita sama gua?

Sekarang giliran BuGi yang tercenung sendiri. Dia bingung harus mempercayai atau tidak apa yang dikatakan Rega tadi.

Gua gak akan percaya sebelum Aya bilang sendiri.

Akhirnya BuGi berkeputusan.


29 Mei 2010, 10.36

“Woi…!” Suara cempreng Dieya membahana di ruang sempit telinga BuGi.

“Ah, lu kebiasaan, Ya!”  BuGi mengepalkan tangan kirinya dan meniupinya, baru kemudian ia tempelkan di telinganya. BuGi percaya kalau itu bisa menghilangkan dengungan yang bergema di telinganya. Dan tangan kanannya mengusap-usap dadanya. “Budeg tau!” BuGi manyun. “Bahaya kalau jantung gua ampe copot. Gimana kalau ntar gua gak bisa ngerasain jatuh cinta. Lu mau tanggung jawab?”

“Kok gua? Itu kan urusan lu. Lagian apa hubungannya jatuh cinta sama jantung?” Dieya menimpali. Sembari mengambil pisang goreng yang dilahapnya kemudian. Duduk di samping BuGi dengan nyaman.

“Ya… ada lah, gua kan ntar gak bisa ngerasain jantung yang berdebar-debar ngelihat cewek cantik, lantaran jantung gua copot gara-gara lu. Hahahaha.” BuGi tertawa puas di depan muka Deiya.

“Hah? Gak penting!” Ketus Dieya menjawab.

Dieya kembali memfokuskan dirinya ke lapangan basket. Ada anak-anak kelas 1 yang bermain basket dengan asiknya. Dieya memerhatikan sambil menyantap pisang goreng bikinan bi Enah kesukaannya.

Sementara di sampingnya ada gemuruh janung yang berdebar kencang. Tepatnya dari jantung BuGi. Ada yang membuat pikiran BuGi tak tenang sejak kemarin sore. Ada hal yang harus ia tanyakan kepada Dieya. Tapi dia tidak dapat menyembunyian kegugupannya. Dicobanya menghirup udara sebanyak-banyaknya dan ia simpan sedalam mungkin, berharap ada sedikit ketenangan yang ia dapatkan dari kesejukan siang itu.

Harus! Gua harus menanyakannya. BuGi bergumam.

“Apa, Gi” Dieya menoleh secara tiba-tiba tepat di depan muka BuGi. Sepertinya Dieya mendengar gumaman BuGi. Sontak BuGi kaget dan terlonjak ke belakang.

“Hah! Apa-apaan sih lu, Ya?” BuGi semakin gugup diperlakukan seperti itu oleh Dieya.

Alis Dieya terangkat sebelah. “Apanya yang apa-apaan? Gua kan gak ngapa-ngapain lu” Dieya memandang aneh BuGi.

“Lu tuh aneh, Ya. Akhir-akhir ini sering banget ngilang. Dah latihan cabut, dah latihan cabut.” BuGi cemberut.

“Eh… Jangan salah gini-gini gua orang sibuk! Hahaha” Dieya menyeringai.

“Sibuk dari mana? Sibuk ngedate maksud lu?” Nada suara BuGi mulai agak meninggi.

Akhirnya ada jalan juga buat memulai percakapan ini. Gua harus tahu yang sebenar. BuGi bertekad.

“Maksud lu?” Dieya agak heran dengan pertanyaan BuGi.

“Lu dah punya cowok kan? Anak SMA sebelah. Makanya sekarang lu dah gak punya waktu lagi buat kita-kita. Gua dah tahu semuanya. Rega yang bilang.” Keluar juga dari mulut BuGi, kata-kata  yang telah dia siapkan dari kemarin sore.

“Gak punya waktu gimana? Rabu kemarin habis latihan gua jalan sama anak-anak basket. Lunya aja yang gak latihan, jadi lu gak ikut jalan sama kita.” Dieya mulai menaikan nada suaranya juga. Ada yang aneh dengan BuGi kali ini, Dieya tidak suka cara bicara BuGi yang mulai menaik dan sedikit menghakimi.

“Tapi kan itu bareng anak-anak lain, bukan sama gua.” Tanpa sadar BuGi berceletuk seperti itu.

Aduhhh, ngomong apaan sih gua?  Itu pernyataan bodoh. BuGi sedikit kecewa dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya kali ini. Itu tidak sesuai recana.

”Sama lu?” Dieya makin heran. “Emang sesering apa kita jalan? Perjanjian kita kan kita jalan seminggu 2 kali mau itu sama lu atau sama anak-anak lain. 2 kali itu kan dah lewat. Kenapa lu permasalahin lagi? Lu sensi amat sih hari ini? Lu aneh, Gi!” Dieya muali tidak menyukai percakapannya dengan BuGi kali ini. Dieya berdiri dan bersiap untuk pergi.

Gak penting. Pikir Dieya.

Tapi ada tangan yang menahannya. Mencengkram lengan Dieya dengan keras. “Hei! Lu mau kemana? Kita belum selesei ngomong?” Kini BuGi berkata dengan benar-benar menggunakan nada tinggi.

“Aw… Apa-apaan sih lu? Kok jadi kasar gini?” Dieya menghempaskan tangan BuGi dengan keras. Tapi tangan itu masih tetap berada di sana. Malah semakin keras mencengkram lengan Dieya.

“Gua tanya lu kemana aja kemarin-kemarin ini? Gitu doang kok. Tinggal dijawab apa susahnya?” BuGi masih bersikukuh.

“Kan dah gua jawab tadi. Gua ADA, dan GAK KEMANA-MANA?” Bentakan Dieya lebih keras.

“Alaaah, jangan bohong! Gua tau lu jalan sama cowok lu kan?” Muka BuGi memerah, ada emosi yang semakin mencuat.

“Gi! Lepasin lengan gua sakit tau!” Kali ini Dieya berteriak. Mereka tak memerduliak orang-orang yang mulai mengalihkan pandangannya kepada mereka. Orang-orang memandangi mereka dengan heran. Saling  tatap, dan mulai terdengar bergemuruh. Membincangkan kedua sahabat yang bisanya akur ini, namun kini tiba-tiba saja bertengkar hebat.

BuGi tersentak kaget menyadari genggamannya. “Eh… sori, Ya. Gua gak sengaja”. Nada suara BuGi kembali melemah berbarengan dengan melemahnya cengkraman tangan yang sedari tadi ada di lengan Dieya. Belum pernah ia seemosi ini terhada Dieya sebelumnya. Dilihatnya tangan Dieya begitu merah, ada sesal yang menghantap hatinya.

“Gua cuma pengen tau aja, kebenaran dari kabar yang Rega kasih.” BuGi menjelaskan selembut mungkin. Berharap itu dapat mebuat emosi Dieya juga berkurang.

“Emang apa urusannya sama lu? Ngapain lu mau tau urusan pribadi gua? Punya hak apa lu sama hidup gua? Gak ada!” Bentak Dieya. Dieya terlanjur kesal dengan BuGi. Padahal ia tak suka berkata seperti itu kepada BuGi. Hanya saja kali ini Dieya pikir BuGi telah keterlaluan.

Seperti ada petir yang menyambar ulu hati BuGi. Ia tak dapat berkata apa-apa, mulut BuGi bagai terkunci. Ada semacam duri yang menusuk hatinya. Sakit terasa menyeruak. BuGi terduduk lesu. Kepalanya tertunduk. Menyadari suatu hal. Apa yang ia lakukan kepada Dieya memang sungguh keterlaluan.

“Kalau iya gua punya cowok. Memang kenapa?” Dieya bertanya dengan masih membentak.

“Gak pa-pa, Ya! Maaf, gua… gua…” BuGi tergagap. Tak ada satu kalimatpun atau satu katapun yang ia temukan di pikirannya. Semuanya terasa kosong.

Dieya berlalu dengan masih dibalut emosi dan rasa kecewa. Ia tidak habis pikir kenapa BuGi bisa sekasar itu kepadanya. Dan marah-marah dengan alasan yang sangat tidak jelas.  Dieya membiarkan BuGi tertegun menyusuri alam pikirannya.

Masih dengan terduduk lesu di bangku kanti bi Enah, BuGi berlayar di alam pikirannya. Menyusuri inci demi inci kata-kata yang telah di lontarkannya, menyisir perlakuannya kali ini kepada Dieya yang memang dirasanya teramat sangat kasar. Tiba-tiba saja ada rasa yang mengusik keakraban dirinya dan Dieya. Ada rasa yang menyeruak, memanaskan hatinya.

Cemburukah ini?
Share:

No comments: