mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

,

Rekayasa Ilusi

I.        Sebuah rasa tanpa rupa
      Berdiam diri dalam jenaka
      Kelak hanya malam yang pahami
      Jauh,
      Jauh,
      Di dasar palung hati 


II.     Matahari kasar menampar
      Pada permukaan kulit yang semakin
      menggosong
      Ia tebar rupa hangat
      Hangat,
      Hangat,
      Di rona yang memerah


III.   Malamnya kian sunyi
      Ia tinggalkan itu hingar
      Bercengkrama dengan tikar pada gigil
      Dingin,
      Dingin,
      Di tepian malam dalam kokokan ayam jantan


Ia sendiri, dalam rekayasa ilusi. Tak segera mengabari jangkrik-jangkrik, para kumbang, atau tokek malam. Ia hanya perlu tahu, bukan memberi tahu.

Share:
Read More
, ,

Satu Bulan Lalu Tentang Asing

Satu bulan lalu Ia terdampar, di tempat yang begitu asing. Saat pertama kali menginjakan kaki di tempat itu Ia merasakan hawa dingin, mengigit, sekalipun matahari sangat terik waktu itu.

Pertama kali Ia merasa bingung, harus seperti apa menjalani hidupnya. Ia mencoba menghirup udara pagi, mengalirkannya ke paru-parunya, mencari sebuah hangat. Namun, Ia hanya mendapatkan hening, sepi, dingin. Tidak ada hangat.

Ia mencoba menulis. Tapi, tak satu pun hal yang Ia temukan di pikirannya. Semuanya terasa asing, benar-benar asing.

Beberapa hari kemudian akhirnya ada hujan. Ia sesapi aromanya, Ia resapi sentuhan air yang menggapai permukaan kulitnya. Namun, Ia kembali tidak menemukan apa-apa. Di sana hanya ada dingin yang mengigit.

Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, Ia tidak menemukan satu hal pun tentang dirinya di sana, Ia bahkan menjadi asing untuk dirinnya sendiri.

Ia tidak tahu bagaimana mendekatkan diri dengan Tuhannya, Ia bingung bagaiman melakukannya. Ia tidak bisa memijakan kakinya dengan benar.

Tapi, Ia tidak merindukan rumahnya. Di sana benar-benar tidak ada hangat, sekali pun itu dari rindu.

Ia hanya memerhatikan sekelilingnya, selalu. Berharap akan ada sesuatu yang Ia temukan. Ia mengamati terus menerus. Sampai pada suatu ketika Ia menemukan sebuah senyuman, begitu manis, hingga melemahkan hatinya.

Pada waktu itu Ia menemukan hangat. Sangat. Ia memerhatikan setiap gerak-gerik si Pemilik Senyum itu. Matanya, hidungnya, bibirnya, suaranya, cara bagaimana ia berjalan, cara bagaimana ia berbicara, semuanya ia perhatikan. Tapi, dari semua itu Ia paling menyulai senyumannya, sesekali Ia juga mendapatkan sebuah kerlingan. Maka Ia tidak dapat melakukan apa-apa, Ia benar-benar lemas kala itu. Terpaku pada satu tatap. Ahhh, dirasanya Ia jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada semua yang dimiliki si Pemilik Senyum itu.

Namun, aku lupa apa yang terjadi waktu itu, hingga si Ia kehilangan hangatnya kembali. Sampai saat inipun, Ia tidak dapat merasakannya lagi. Ia hanya mengingat pernah merasakannya. Ya, itu saja.

Dan kini Ia sudah kembali ke rumahnya. Anehnya, Ia merindukan rumahnya saat dia sudah berada di sana.

Ia menyesapi udara paginya, Ia melihat ke sekeliling ruangannya, Ia berdiri mematung merasakan betap rindunya dia akan semua hal yang ada di rumahnya.

Jarum jam terus berjalan, namun Ia sama sekali tidak memerhatikannya. Ia asik dengan tumpukan-tumpukan kertasnya. Ia terus di sana sampai Adzan magrib berkumandang. Sampai Ia mendesah, menyesal pada waktu yang terlalu cepat berlalu. Tapi, ia tersenyum kemudian, rekahan senyumnya berbarengan dengan buncahan bahagia di hatinya.

Ia merasa begitu beruntung dapat menikmati semuanya, Ia merasa beruntung mendapatkan kenikmatan dari apa yang ia punya. Ia menangis, bersyukur, berucap Alhamdulillah, bukan karena apa yang Ia miliki di dompetnya, atau di saku celananya, atau di tabungan elektoniknya (karena sebenarnya di sana hanya ada 1-2 lembar puluh ribuan, dan angka 5 digit di tabungannya), tapi lebih karena ia dapat merasakan nikmat dari semuanya. Dari tumpukan-tumpukan kertasnya dan aroma paginya, dan yang paling penting baginya dia dapat mendekatkan diri lagi dengan Tuhannya. Ia mendapatkan ruang yang cukup untuk itu semua.

Dan aku pikir sekarang aku tidak lagi kehilangan Ia. Aku dapat menemukannya dengan mudah. Ia tidak lagi asing.
Share:
Read More

Gadis dalam Cermin

Gadis berusia 20 tahun itu selalu menatap layar kosongnya. Sesekali mengetikan beberapa huruf, namun kemudian ia hapus kembali. Dan ia kembali dalam diamnya, melayangkan ingatannya, melayangkan imajinya, berharap menemukan satu dua ingatan yang bisa ia tuangkan dalam layar kosong yang ia tatap sedari tadi. Namun sayangnya ia lebih sering mendapatkan kenihilan.

Ia kemudian berpikir, apakah bisa ia menjadi seorang penulis. Cita-cita yang tidak pernah ia sangka, tak pernah sedikitpun datang dalam pikirannya dahulu. Namun satu tahun lalu ia menemukan dirinya begitu menyukai hal itu. Baginya penulis adalah orang-orang yang bisa melihat dunia dari sisi yang tidak pernah terlihat oleh orang kebanyakan. Penulis adalah orang yang mampu memahami ketika orang-orang menghakimi. Dan dia berharap bisa menjadi orang seperti itu.

Namun ia terlalu acuh untuk menjadi seseorang yang seperti itu. Seringnya terlalu anteng dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. Meyakini beberapa ketakutan, yang menjadikan imajinya terpenjarai.

Ah, gadis muda ini masih tak tahu jalan apa yang ia ingini. Masih menyukai berada di persimpangan. Melihat-lihat jalanan mana yang akan mengantarnya menuju kebahagiaan.

Gadis muda itu seringkali ku khawatirkan, namun ia selalu tersenyum saat kutatap. Ia seakan mengatakan "Semuanya akan baik-baik saja, dan akan selalu indah pada waktunya." Aku pun hanya mengangguk, mengiyakan.

Gadis muda itu adalah gadis yang sering kutemui saat pertama kali ku menjumpai hari dan saat mataku akan nyaman terlelap dalam balutan malam. Ia gadis yang selalu kutatap dalam cermin.
Share:
Read More
,

Aku Masih Tertinggal di 2012


Detakan waktu terdengar riuh bergemuruh, bergumul, berlarian, berkejarang dengan sayu-sayu mata lugu. Seakan tanpa rasa, terlalu cepat beralih, dari masa untuk masa.

Ini seakan 2012, hanya mungkin pena-pena yang kugerakan menuliskan angaka 3 dibelakang angka 1, bukan lagi angka 2. Terasa sedikit kecewa, karena 2012 berlalu terlalu cepat. Aku seakan menangis merelakan kepergiannya, entah apa yang kulewatkan bersamanya, entah apa yang aku lupakan di dalamnya, semuanya seakan tak cukup. 
Hei, ini 2013. Saatnya memperbaharui, saatnya beresolusi, saatnya menjadi peribadi baru dengan harapan menjadi seseorang yang lebih baik.

Tapi, rasa hausku telah hilang, tertelah kecewa beberapa tahun lalu. Aku tidak lagi ingin. Meski terkadang bosan, aku masih tetap tak ingin.

Rasa kantuk selalu bergelayut, seperti rasa lelah, menjadikan lunglai dan lemas. Ingin selalu tertidur untuk beberapa waktu. Menikmati sunyi, sepi, dan sendiri.

Ya, sampai saat ini aku masih sendiri. Bergumul dengan bayangan-bayangan halusinasi. Menutup diri dari jamahan-jamahan tak termengerti.

Hei, aku tertinggal di 2012. Aku punya kaki, namun aku sedang tidak ingin berjalan sendiri. Bukankah aku tadi mengatakan sedang tidak ingin. Aku lelah. 

Terlalu lelah untuk menggerakan tungkai-tungkai kakiku.
Tak peduli, orang-orang memandangku risih, aku hanya sedang tidak ingin. Mereka mengerti kah? Mereka tidak mengerti kah? Aku tidak peduli. Semuanya tak penting lagi.

Aku masih menunggumu menjemputku. Ingat ya, aku masih tertinggal di 2012. Aku masih menunggumu. Masih menunggumu Rumahku. 




Share:
Read More
,

#Journey of Malinau Part 1

Taras, Malinau, Kalimantan Timur

Tanggal 25 Desember 2012. Yap, hari Natal kemarin akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk sedikit berjelajah ke pelosok Malinau. Ya, meskipun hanya setengah hari, pergi jam 8 pagi lebih sedikit, karena supir kami mengalami kendala personaliti, dan kembali lagi setengah 10 pagi. Dengan sangat tergesa-gesa karena dalam keadaan belum mandi.

Di sebelah kiri ada patung buaya super besar, namun kami tidak sempat ke sana.



Pantainya Malinau

Sebelum pergi saya diiming-imingi informasi kalau tempat yang akan kami datangi ini adalah Pantainya Malinau, meskipun kepala saya dipenuhi dengan tanda tanya, karena setahu saya di Malinau memang tidak ada pantai, tapi saya ayokan dengan sepenuh hati, karena memang tidak ada pilihan lain lagi. Dan saya pergi dengan penuh pengahrapan.


Dan ternyata, kalian lihat, ini tidak lebih dari sungai yang tinggi airnya hanya semata kaki.

and he is our driver.


Sekalipun liburan, tapi Ibu Deputi tetap saja sibuk dengan telepon genggamnya.


Couple

Hei Ledies...

Perbekalan yang mengkhawatirkan, karena kami tidak sempat masak ataupun membeli cemilan. Tapi tetap kami santap dengan lahap.











Pulang. Yeahhhh... Yeahhhhh...
Kembali ke kesibukan semula, bertemu dengan beragam orang. ^^


Pasti masih penasaran kan? Yap, sayapun begitu, jadi doakan saja semoga saya diberi kesempatan lagi untuk mengunjungi tempat-tempat yang lebih seru dari pada ini di Malianu.
See you... ^^

Share:
Read More