mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, ,

Satu Bulan Lalu Tentang Asing

Satu bulan lalu Ia terdampar, di tempat yang begitu asing. Saat pertama kali menginjakan kaki di tempat itu Ia merasakan hawa dingin, mengigit, sekalipun matahari sangat terik waktu itu.

Pertama kali Ia merasa bingung, harus seperti apa menjalani hidupnya. Ia mencoba menghirup udara pagi, mengalirkannya ke paru-parunya, mencari sebuah hangat. Namun, Ia hanya mendapatkan hening, sepi, dingin. Tidak ada hangat.

Ia mencoba menulis. Tapi, tak satu pun hal yang Ia temukan di pikirannya. Semuanya terasa asing, benar-benar asing.

Beberapa hari kemudian akhirnya ada hujan. Ia sesapi aromanya, Ia resapi sentuhan air yang menggapai permukaan kulitnya. Namun, Ia kembali tidak menemukan apa-apa. Di sana hanya ada dingin yang mengigit.

Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, Ia tidak menemukan satu hal pun tentang dirinya di sana, Ia bahkan menjadi asing untuk dirinnya sendiri.

Ia tidak tahu bagaimana mendekatkan diri dengan Tuhannya, Ia bingung bagaiman melakukannya. Ia tidak bisa memijakan kakinya dengan benar.

Tapi, Ia tidak merindukan rumahnya. Di sana benar-benar tidak ada hangat, sekali pun itu dari rindu.

Ia hanya memerhatikan sekelilingnya, selalu. Berharap akan ada sesuatu yang Ia temukan. Ia mengamati terus menerus. Sampai pada suatu ketika Ia menemukan sebuah senyuman, begitu manis, hingga melemahkan hatinya.

Pada waktu itu Ia menemukan hangat. Sangat. Ia memerhatikan setiap gerak-gerik si Pemilik Senyum itu. Matanya, hidungnya, bibirnya, suaranya, cara bagaimana ia berjalan, cara bagaimana ia berbicara, semuanya ia perhatikan. Tapi, dari semua itu Ia paling menyulai senyumannya, sesekali Ia juga mendapatkan sebuah kerlingan. Maka Ia tidak dapat melakukan apa-apa, Ia benar-benar lemas kala itu. Terpaku pada satu tatap. Ahhh, dirasanya Ia jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada semua yang dimiliki si Pemilik Senyum itu.

Namun, aku lupa apa yang terjadi waktu itu, hingga si Ia kehilangan hangatnya kembali. Sampai saat inipun, Ia tidak dapat merasakannya lagi. Ia hanya mengingat pernah merasakannya. Ya, itu saja.

Dan kini Ia sudah kembali ke rumahnya. Anehnya, Ia merindukan rumahnya saat dia sudah berada di sana.

Ia menyesapi udara paginya, Ia melihat ke sekeliling ruangannya, Ia berdiri mematung merasakan betap rindunya dia akan semua hal yang ada di rumahnya.

Jarum jam terus berjalan, namun Ia sama sekali tidak memerhatikannya. Ia asik dengan tumpukan-tumpukan kertasnya. Ia terus di sana sampai Adzan magrib berkumandang. Sampai Ia mendesah, menyesal pada waktu yang terlalu cepat berlalu. Tapi, ia tersenyum kemudian, rekahan senyumnya berbarengan dengan buncahan bahagia di hatinya.

Ia merasa begitu beruntung dapat menikmati semuanya, Ia merasa beruntung mendapatkan kenikmatan dari apa yang ia punya. Ia menangis, bersyukur, berucap Alhamdulillah, bukan karena apa yang Ia miliki di dompetnya, atau di saku celananya, atau di tabungan elektoniknya (karena sebenarnya di sana hanya ada 1-2 lembar puluh ribuan, dan angka 5 digit di tabungannya), tapi lebih karena ia dapat merasakan nikmat dari semuanya. Dari tumpukan-tumpukan kertasnya dan aroma paginya, dan yang paling penting baginya dia dapat mendekatkan diri lagi dengan Tuhannya. Ia mendapatkan ruang yang cukup untuk itu semua.

Dan aku pikir sekarang aku tidak lagi kehilangan Ia. Aku dapat menemukannya dengan mudah. Ia tidak lagi asing.
Share:

No comments: