Skip to content

- Tidak ada bahasa dalam sajak kita
Ia hanya mempunyai isyarat yang selalu tanpa nama
Ada kekecilan yang mengkerutkan
Ada kebesaran yang melambungkan
Jelas saja pagi selalu tanpa warna
Dan langit tetap saja dalam biru
- Aku lebih suka menatap senja
Berpengharap pada pagi yang esok
Semburat yang jingga tanpa kelabu
Jujur dalam tanya
Meski ia tanpa matahari di dalamnya
- Ketika hujan dalam sesekali
Wewangian tanah basah selalu menyesakan dada
Benar itu tetang kepergian
Dan selalu tentang hal itu
- Ada secangkir kopi pada pagi kembali
Kemudian aromanya mengalirkan nyaman dalam sendiri
Selalu sepi dalam tenangnya pagi
- Pada sore tanpa kesengajaan yang lalu
Ada penyuka senja sepertiku
Mengintip lembayung pada bilik sebuah kaca
- Kemudian ia mengajak sepi
Menikmati suguhan panorama dalam dua gelas kopi
Merapihkan asa yang sempat tak mau kembali
- Kemudian esok pada Kamis
Ia datang dengan tatapan mata elang, pemburu
Ya, ia katakan memburu matahari
Tak sepertiku yang memburu senja
- Kemudian lagi pada ke esokan harinya
Tiba-tiba saja tak lagi ada tanya
Kami kembali lagi pada diam
Tak lagi ada bahasa dalam sajaknya
Seperti isyarat yang selalu tanpa nama
Semula.
2 comments:
sperti itukah orangny,,hmmmm
Yaaa, sejauh ini sih seperti itu. :D
Post a Comment