mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

Pekerjaan Baru

Emmm... Bisa disebut setelah saya berpindah divisi dengan otomatis saya pun berpindah pekerjaan. Dan pekerjaan saya sekarang ini sangat awam bagi saya. Sangat. Jadi saya harus benar-benar belajar dan bekerja keras untuk dapat segera memahami pekerjaan saya sekarang ini. Dan demi apa pun pikiran dan waktu saya sangat tersita. Setelah pulang kerja saya benar-benar capek, jadi sayang sekali saya tidak dapat berlayar mengarungi lautan imaji.

Tapi saya rasa saya harus menjelaskan bahwa mungkin untuk hari-hari selanjutnya saya akan jarang berngoceh-ngoceh (nulis), jadi mohon untuk dimaafkan saja. Saya harus mengejar secepat saya bisa. Semoga dilancarkan dan dimudahkan. Amin.

Ceritanya ini perut sudah keroncongan, belum makan nasi sedari pagi. Jadi saya harus makan. Semoga saja saya bisa secepatnya mengoceh-ngoceh lagi. Amin.
Share:
Read More

Tak Semudah Dulu

Saat ini saya baru sadar, bahwa hati dan perasaan saya tak lagi seperti dulu. Tak lagi mudah seperti dulu. Sebuah kenyataan yang saya sangkal sedari dulu. Saya tidak rela melepas segala rasa, saya tidak rela melepas segala peka. Namun ternyata seperti inilah saya sekarang. Tak ada yang bisa dipaksakan dengan hati.

Mungkin terlalu banyak di tempa membuat ia mempertebal pelindungnya. Secara otomatis. Tapi, tak apa. Mungkin dengan ini segala hal bisa dilihat dengan bijak. Semoga.

Saya harus menyukuri segalanya. Hikmah selalu menyenangkan jika dinikmati. Sadar bahwa segalanya memanglah kehendak-Nya.
Share:
Read More

Tentang Sayap

Aku menyimpannya di langit. Sebuah mimpi tentang kebahagiaan sederhana. Memiliki sebuah keluarga dengan segala hal yang cukup.

Sebuah mimpi sederhana memang. Namun tetap kugantungkan ia di langit. Aku harus memilik sayap untuk menggapainya, menggenggamnya dengan nyata.

Mungkin pikiranku memanglah sederhana. Tapi, inilah aku. Saat ini aku sedang mengumpulkan bulu-bulu, agar kelak bisa menerbangkanku menuju sesuatu yang kusimpan di langit sana.

Perjalanan menemukan bulu-bulu tak mungkin mudah. Ini hidup, tidak ada yang mudah dengannya. Namun, keyakinan terhadap-Nya adalah penguat terbesar untukku. Dan aku yakin, aku memilikinya.
Share:
Read More

Bermain dengan Entah

Tapi, seperti ini kadang lebih menyenangkan. Aku jadi banyak pekerjaan. Seperti halnya menerka-nerka tentangmu terus menerus.

"Sedang apa kamu?"
"Sedang memikirkan apa kamu?"
"Selama apa kau ingin berdiam diri di kepalaku?"
"Selama apa kau berjalan-jalan di mimpiku?"
Atau,
"Kapan kau akan berhenti men-tak-beraturan-kan perasaanku?"

Ya, aku kadang memang senang bermain dengan entah. Kurasa kau juga. Tapi itu kadang-kadang. Karena biasanya, selalu ada yang membosankan dari hal yang terus menerus. Kurasa memang hidup selalu seperti itu. Harus berada dalam naik-turun yang menyenangkan atau tak menyenangkan sekalipun. Namanya juga hidup. Betul, bukan?

Share:
Read More
,

Jadilah Pagi

Tuan, Jadilah pagi
Pemilik sederhana dari bumi
Pemilik zat sejuk sisa-sisa pekatnya langit

Tuan, Jadilah pagi
Agar kuterbangun dari mimpi
Agar kutemui kau setiap hari

Tuan, Jadilah pagi
Kenyamanan surgawi
Yang tercuri dari malam tadi

Tuan, jadilah nyata yang ada
Jangan digemari berada terus dalam mimpi
Share:
Read More
,

Dua Mata

Aku punya mata
Bahkan ia ada dua
Satu nyata dan satu kasat mata
Keduanya melihatmu dengan seksama
Tentangmu diantara jarum-jarum berdetak

Pangandaran, 17042013
Share:
Read More

Ini (Bukan) Sesal

Aku pengingat yang baik, karena aku penyuka kenangan.
Aku menerka-nerka apa pernah kau membuka blogku? Apa kau mengetahuinya? Apa kau tahu juga, aku menuliskan sedikit tentangmu di sini? Tapi kurasa sepandai apapun aku berintuisi, aku tak akan pernah menemukan jawabannya.

Mungkin kau memang tak tahu. Ya benar, darimana kau bisa mengetahuinya.

Apa kamu tahu, tentangmu masih selalu melahirkan banyak pertanyaan? Dan bodohnya aku, aku masih segemar ini menunggu, menunggumu menjawab semua pertanyaan itu. Padahal, bertemu denganmu pun masih entah.

Apa kamu tahu, banyak sekali yang ingin aku bicarakan denganmu? Ada banyak desakan yang  semakin hari semakin menambah lebam dibagian-bagian hatiku. Aku tak bisa membaginya. Yang aku ingat ini hanya tentang aku dan kamu.

Apa kamu tahu, apa yang telah kita lakukan kemarin, apa yang telah menjadi kenangan itu, apa yang telah menjadi penghujung pertemuan kita itu adalah hal terburuk yang kita ukir di catatan harian kita?

Dan apa kamu tahu juga, bahwa indah yang sebelumnya itu menjadi tak begitu berarti ketika aku harus mengingat ujung yang tak baik itu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengenalmu dengan baik, dan kita memulai dengan baik pula. Kita bersahabat dengan sangat baik.

Tapi, aku selalu mengatakannya tidak apa-apa. Itu bukan hal terburuk yang pernah menimpaku. Aku masih bisa berpura-pura untuk tidak mengingatnya.

Aku harap kelak kau akan datang jika memang kau sudah siap. Aku masih akan terus menunggu. Tak apa jika ingin dengan perempuanmu. Aku selalu pandai berpura-pura, kau tak perlu khawatir. Dan jangan bertanya jika kelak cangkir di mejaku masih saja tak sepasang.

Aku tak ingin menyebut ini penyesalan. Aku tak pernah ingin menjadi seorang penyesal. Aku selalu akan menjadi seorang yang bersyukur, sekalipun itu buruk yang menjadi kemarinku. Aku selalu mencoba untuk itu. Selalu, bahkan mungkin untuk selamanya. Aku tak pernah ingin kalah.
Share:
Read More

Lelaki Pagi dan Kertas-Kertasnya

Aku tak tahu seberapa pandai ia tertawa hingga membuatku ikut tertawa atau berpura. Ia memaksaku hilangkan gundah dan gaduh di kepala. Ia bahkan tanpa nama, namun aku bisa mengartikannya tanpa tanya.

Ia lelaki yang kutemui pada pagi di bulan Desember tahun lalu. Hanya berpapasan lebih tepatnya. Ia mengayuh sepeda saat itu, dengan desah suara yang keras, namun ia sama sekali tidak tampak lelah. Bahkan saat kertas-kertas itu ia lempar ada raut puas yang tidak dapat aku mengerti.

Saat itu, saat pertama kali melihatnya aku tak mengapa, aku abaikan ia, bahkan ia tak penting. Namun pada ke esokan harinya ia tersenyum, bahkan menyepa untuk hari selanjutnya. Mungkin karena aku dan dia sering berpapasan dan baginya itu sudah cukup mengakrabkan kami, tapi bagiku itu tidak. Ia terlalu lancang untuk hari-hari selanjutnya. Jika saja ada pilihan, aku ingin melewati jalan lain.

Di suatu pagi lagi aku membawa pesanan susu banyak. Di kanan dan kiri tanganku ada keranjang susu yang berisikan 15 botol di masing-masing keranjangnya, dan aku sedikit tergopoh. Lagi-lagi aku berpapasan dengannya. Ia memelankan laju sepedannya kali itu padahal di keranjang sepedanya masih banyak kulihat kertas-kertas yang biasa ia lemparkan. Padahal demi Tuhan waktu itu aku sangat tidak ingin berdebat. Namun, ia malah membalikan sepedanya mengayuh mengikutiku.

"Perlu bantuan?" Tanyanya riang kala itu.
"Tidak usah." Jawabku tegas. Aku bergegas pergi. Mengakhiri basa-basi yang tak penting itu. Namun, tiba-tiba saja, keranjang susu di tangan kiriku terangkat.
"Sini biar aku bantu saja. Jangan keras kepala. Keringat sudah membanjiri tubuhmu, nanti bisa-bisa susunya malah bau keringat." Candaannya kali ini benar-benar yang terburuk. Aku tak menyukainya.
"Sembarangan." Tukasku.
"Makanya, sini!"

Aku menyerah kali ini. Aku memang sudah terlalu berkeringat. Dia tersenyum menang. Tapi, sepedanya kemana ia taruh? Dan bagaimana dengan kertas-kertas di keranjangnya? Aku berbalik memastikan. Dan benar saja kertas-kertasnya sudah tidak ada. Jangan-jangan ada yang mengambil. Aku mempercepat langkahku, mensejajarkan dengannya.

"Kertas-kertasmu kemana?" Aku bertanya resah.
"Kertas-kertas?" Ia nampak heran.
"Em, maksudku koranmu."
"Oh... Nih." Ia menunjukan tas lusuhnya.
"Huft... Syukurlah."
"Kamu kenapa?" Dahinya mengkerut.
"Bukan apa-apa." Aku menggeleng dengan tegas. Memamerkan bebarisan gigiku yang rapih.
"Gitu dong! Senyum kek dari tadi." Ia mencubit pipiku. Sakit. Tapi aku menyukainya, seperti halnya ia mengacak-acakan rambutku. Mungkin ia juga tahu.

Semenjak itu, hari-hariku terisi penuh olehnya. Namun aku tidak pernah ingin mengetahui namanya. Aku lebih suka menyebutnya Lelaki Pagi. Sebab tak ada yang abadi, begitupun dia.
Share:
Read More
,

Esok Inginnya Aku Lupa

Perasaan takut itu membungkus pikiran tentang baik
Perasaan takut itu menuntun menjauhi biasan warna putih
Ini lagi-lagi tentang takut,
Kala kuyakini terjatuh itu sakit

Bolehlah jika aku menikmati saat ini,
Memandangi senyumannya
Asal esok aku lupa.

Bolehlah jika aku terbahak saat ini,
Menanggapi leluconnya yang konyol
Dan esok aku lupa.

Bolehlah dadaku berdebar saat ini,
Menyapanya dengan bersemu
Kemudian esok aku lupa.

Segalanya boleh saja saat ini,
Tapi esok aku ingin lupa.

Aku takut pada ejaan yang berada di hatinya. Tentang sebuah nama.
Share:
Read More

Saat Pertama

Ini hari awal
Pungungnya menjauh meninggalkan jejak
Ronggak yang kemarin punya isi
Bersiap menganga kembali


Ini tentang drama yang didramatisir
Duka yang tak seharusnya dikalapi
Jejaknya akan berjejak pada tanah lain
Tanah yang dulu sempat kupijaki

Sunggingan senyum yang dipaksai
Akan memberatkan si empunya punggung yang beranjak pergi

Hal seperti ini akan terus berulang
Sampai dimana kau fasih mengejanya
Sampai dimana tak akan lagi kau temukan rasa perih
Setiap kali belati yang kau pegang menusukmu sendiri


-pnd, 20032013
Share:
Read More

Terima Kasih

Boleh kah jika aku merasa senang? Bukan, bahkan ini tak hanya sekedar senang, ada bunga-bunga yang ikut merekah juga, pun pipi yang merona merah , dan bergumulnya sekawanan kupu-kupu. Tapi, jantungku tak berdebar karena tak kuijinkan ia untuk melakukannya. Ini bahagia. Kurasa hanya itu.

Ini pertama, pertama kalinya ada seseorang yang menghadirkanku dalam ceritanya. Aku hanya merasa senang, cukup bahagia. Aku ingin mengucapkan terima kasih banyak sekali karena telah mengahdirkan aku ada tak hanya dalam kisah-ceritaku sendiri.
Share:
Read More
,

Kalap Lagi

Kalap lagi ia pada sesosok yang punggunya semakin samar terlihat. Dadanya perih dari derap langkah kaki yang semakin menjauh. Harus seberapa fasih ia mengeja kepergian? Hingga itu terus-menerus berulang.

Ia tak semudah itu percaya. Akan membutuhkan waktu lama untuk meyakinkan hatinya. Tapi setiap kali ia berhasil melakukannya maka sesering itu pula ia menatap punggung yang semakin menjauh.

Ia tak pernah bosan mengulang kaliamat:
"Setiap yang datang pasti akan pergi."
Ia telah seperti orang yang paling siap untuk ditinggalkan. Namun, pada kenyataannya--seperti tetap lah seperti--ia akan tetap menjadi orang terapuh dalam hal ini.

Ia tak tahu harus seberapa banyak ia ditinggalkan, hingga ia ada untuk terbiasa.

-pnd, 24032013
Share:
Read More

Tak Akan Pernah Berakhir

"Aku hanya ingin mengatakan perjalanan ini tak akan ada ujungnya, tak akan pernah berhenti, sekalipun esok mata ini tertutup."

 - Selamat datang April -

- pnd, 01042013
Share:
Read More
,

Terjebak

Ada rekah bahagia dan kelegaan, namun ada juga yang menyudutkan perih diujung hati. Aku mengetahuinya sekarang, bahkan sejujurnya sejak awalpun aku telah mengetahuinya. Hanya saja sebelum ini aku belum meyak ini seutuhnya.

Hal seperti ini terulang kembali seperti dua tahun lalu, dan aku akan terjebak di dalamnya. Meyakini hati sendiri, dan membimbangi apa yang ada di depan mata.

Ini sebetulnya menyenangkan, begitu menyenangkan, dan ia memang benar "kita kadang terjebak di dalamnya". Sekalipun ia tak mengatakannya aku telah mengetahuinya sejak lama, jauh sebelum senja itu, aku telah mengalaminya sendiri.

Mungkin ini terjadi 'lagi', lagi-lagi karena aku belum fasih mengejanya. Tapi sungguh aku akan belajar dan tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Tak lagi ingin keliru pada pesinggah yang kehausan dan kelelahan. Mereka hanya perlu tempat untuk tinggal sejenak dan minum, membagi satu-dua cerita yang telah ia lalui, dan jika ia sudah selesai ia pergi. Aku hanya akan membantunya saja, dan tak lagi ingin memberi mereka lebih. Terlalu jauh nanti jika aku harus mengejar hatiku kembali, karena telah ia bawa pergi.
Share:
Read More