mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

Lelaki Pagi dan Kertas-Kertasnya

Aku tak tahu seberapa pandai ia tertawa hingga membuatku ikut tertawa atau berpura. Ia memaksaku hilangkan gundah dan gaduh di kepala. Ia bahkan tanpa nama, namun aku bisa mengartikannya tanpa tanya.

Ia lelaki yang kutemui pada pagi di bulan Desember tahun lalu. Hanya berpapasan lebih tepatnya. Ia mengayuh sepeda saat itu, dengan desah suara yang keras, namun ia sama sekali tidak tampak lelah. Bahkan saat kertas-kertas itu ia lempar ada raut puas yang tidak dapat aku mengerti.

Saat itu, saat pertama kali melihatnya aku tak mengapa, aku abaikan ia, bahkan ia tak penting. Namun pada ke esokan harinya ia tersenyum, bahkan menyepa untuk hari selanjutnya. Mungkin karena aku dan dia sering berpapasan dan baginya itu sudah cukup mengakrabkan kami, tapi bagiku itu tidak. Ia terlalu lancang untuk hari-hari selanjutnya. Jika saja ada pilihan, aku ingin melewati jalan lain.

Di suatu pagi lagi aku membawa pesanan susu banyak. Di kanan dan kiri tanganku ada keranjang susu yang berisikan 15 botol di masing-masing keranjangnya, dan aku sedikit tergopoh. Lagi-lagi aku berpapasan dengannya. Ia memelankan laju sepedannya kali itu padahal di keranjang sepedanya masih banyak kulihat kertas-kertas yang biasa ia lemparkan. Padahal demi Tuhan waktu itu aku sangat tidak ingin berdebat. Namun, ia malah membalikan sepedanya mengayuh mengikutiku.

"Perlu bantuan?" Tanyanya riang kala itu.
"Tidak usah." Jawabku tegas. Aku bergegas pergi. Mengakhiri basa-basi yang tak penting itu. Namun, tiba-tiba saja, keranjang susu di tangan kiriku terangkat.
"Sini biar aku bantu saja. Jangan keras kepala. Keringat sudah membanjiri tubuhmu, nanti bisa-bisa susunya malah bau keringat." Candaannya kali ini benar-benar yang terburuk. Aku tak menyukainya.
"Sembarangan." Tukasku.
"Makanya, sini!"

Aku menyerah kali ini. Aku memang sudah terlalu berkeringat. Dia tersenyum menang. Tapi, sepedanya kemana ia taruh? Dan bagaimana dengan kertas-kertas di keranjangnya? Aku berbalik memastikan. Dan benar saja kertas-kertasnya sudah tidak ada. Jangan-jangan ada yang mengambil. Aku mempercepat langkahku, mensejajarkan dengannya.

"Kertas-kertasmu kemana?" Aku bertanya resah.
"Kertas-kertas?" Ia nampak heran.
"Em, maksudku koranmu."
"Oh... Nih." Ia menunjukan tas lusuhnya.
"Huft... Syukurlah."
"Kamu kenapa?" Dahinya mengkerut.
"Bukan apa-apa." Aku menggeleng dengan tegas. Memamerkan bebarisan gigiku yang rapih.
"Gitu dong! Senyum kek dari tadi." Ia mencubit pipiku. Sakit. Tapi aku menyukainya, seperti halnya ia mengacak-acakan rambutku. Mungkin ia juga tahu.

Semenjak itu, hari-hariku terisi penuh olehnya. Namun aku tidak pernah ingin mengetahui namanya. Aku lebih suka menyebutnya Lelaki Pagi. Sebab tak ada yang abadi, begitupun dia.
Share:

No comments: