mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

Selamat Jalan 2012, Selamat Datang 2013

Sejujurnya tidak ada yang ingin saya ceritakan, saya tuliskan, atau saya bagikan. Karena semuanya masih belum terselesaikan. Tapi, rasanya sayang jika momen ini saya lewatkan untuk tidak  menuliskan sesuatu apapun.

Tahun ini, tahun 2012 benar-benar menjadi tahun yang tak terutarakan. Terlalu banyak hal yang terjadi. Banyak sekali. Bahkan untuk melepaskannya pun masih sangat sulit bagi saya. Dan seandainya boleh saya masih sangat ingin berada di dalamnya.

Tahun ini, tahun 2012 benar-benar tahun yang penuh dengan debaran. Begitu banyak mengajarkan. Tentang keikhlasan, tentang kesabaran, tentang menjadi sederhana dan tentang melepaskan.

Selamat jalan masa lalu, masa yang dulu, masa yang abu-abu. Dan selamat datang tahun yang baru. Tahun 2013.
Share:
Read More

Menjadi Seorang Pejalan


Beberapa tahun lalu, aku tahu apa yang aku inginkan. Apa yang menjadi impian besarku. Banyak, bahkan hampir setiap periodenya mimpi itu semakin bertambah. Namun 1 tahun kemarin aku lupa akan semua mimpiku. Entah apa yang telah merenggutnya. Aku lupa. Mimpi-mimpiku lenyap, dan apa yang merenggutnya pun aku tak tahu.

Namun sekarang. Aku menemukan sesuatu dalam diriku. Sesuatu yang sejak lama ingin keluar. Hanya saja aku selalu takut, atau mungkin aku tidak tahu cara untuk memulainya. Kini aku sedikit mengetahui, bahwa aku suka mengutarakan sesuatu melalui aksara-aksara, aku suka keindahan dalam bingkai sebuah lensa, aku suka dentingan-dentingan irama, aku suka melangkahkan kaki (kemanapun itu), aku suka menemukan hal baru, terlebih sesuatu yang telah dilewatkan oleh orang lain. Dan kini aku menyadari mimpiku adalah menjadi seorang pejalan, seorang penejelajah paling tidak untuk negara kepulauan ini. Aku berharap bisa singgah di setiap pulau yang ada di Indonesia dan bisa menemukan sesuatu hal yang baru. Meskipun aku menyadari dengan sangat tak ada  satu pun hal yang menunjangku untuk melakukan itu semua.

Tapi, berkat keberadaanku di Malinau kali ini, aku menyakini tidak ada yang mustahil selagi Tuhan berkehendak. Jadi, bukan kah tidak ada yang perlu aku takutkan lagi. Terlebih jika itu untuk sebuah mimpi.


Share:
Read More

Benar-Benar Mulai Melangkah

Hai sodara-sodara ada kabar yang tidak terduga dan menggembirakan. Akhirnya besok, tepatnya tanggal 19 Desember 2012 saya akan melangkahkan kaki keluar dari Pangandaran. Yeaahhhh. Akhirnya saya diberikan kesempatan untuk bertanggungjawab penuh atas diri dan hidup saya, meski itu hanya 1 bulan. Tapi itu rasanya seperti sebuah tiket percobaan yang sangat berharga. Tentang kepercayaan.


Tanggal 19 besok saya akan berangkat ke Kalimantan Timur, tepatnya ke Malinau untuk 1 bulan masa tugas. Hmmmm, sebuah angin segar untuk mengawali tahun 2013. Meski saya tahu di sana tidak akan mudah (saya sempat mendapatkan bocoran kalau di Malinau itu keadaannya agak sedikit riweh dan berantakan).

Ini seperti halnya ujian kenaikan kelas. Pengujian diri yang akan membutuhkan kerja keras, kesabaran dan kedewasaan. Jadi, saya minta doanya ya. Mudah-mudahan perjalalan kali ini dilancarkan, dimudahkan dan saya mendapatkan sebuah pelajaran yang akan bisa membuat pribadi saya menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan lebih mengerti tentang seperti apa itu hidup. Aminnn.

Okehhhh... Jadi mari besok kita berangkat. Semangat... Semangat... Semangat...

(Saya pasti ceritain kok, bagaimana di sana. Tenang saja! ^^)
Share:
Read More
,

Dihentikan Untuk Dimulai

Mengetahuinya lewat ketidak sengajaan
Kemudian mengenalnya yang aku sengajakan
Kemudian menjatuhkan harapan
Kemudian melepaskannya

Melepaskan sesuatu yang tidak pernah termiliki seharusnya tidak pernah seaneh ini. Ada rasa ngambang yang tidak ku pahami. Antara menyesal dan lega. Ketika aku pikir menjauhi adalah jalan terbaik. Menjauhi, meninggalkan. Itu salah satu cara untuk menemukan kembali. Dan pertaruhan kepada Takdir dimulai.

Share:
Read More

Biarkan Semuanya Bertanya

Hingga pada akhirnya akan kubiarkan semuanya benar-benar meluruh
Terhenti, dan tersesapi oleh tanah
Biasnya tak lagi bisa ku lihat pada air yang bening sekali pun
Namun aku akan tetap membebaskan jiwa pemimpi yang tertidur karena jatuh

"Hai, manusia angkuh. Bangunlah!
Bukan kah tiap pagi kau menyeduh kopi?
Lantas kenapa matamu masih digelayuti kantuk?
Jangan jadi pemalas yang berlindung diketiak ranting-ranting pohon yang kokoh
Pijakan lagi kakimu pada jalan-jalan yang basah sisa-sisa hujan semalam."

"Tanam lah kembali tunas-tunas pengharapan
Pada ladang hati yang telah lama terabaikan
Jangan takuti lagi jatuh
Bukan kah kemarin telah puas berjibaku dengan peluh
Dan kamu berhasil untuk tidak lagi meragu
Dan memutuskan untuk kembali meyakini tungkai-tungkai kakimu."

Mari selesaikan yang harus diselesaikan!



Share:
Read More
,

Mereka dan Dirinya, Kemudian Si Bodoh dan Bodohnya


Mereka hanya menyapa basa-basi
Tanpa pernah benar-benar bertanya
Mereka hanya ingin didengarkan
Tanpa pernah ingin mendengar

Mereka hanya pura-pura mengangguk
Tanpa pernah benar-benar mengerti
Mereka hanya datang kemudian pergi
Tanpa pernah benar-benar ingin masuk dan tinggal

Ya... Mereka hanya menjamah sesaat
Mengecap manisnya bahagia
Kemudian pergi saat semuanya mulai tampak tak sempurna
Dan mereka lebih suka menyisakan luka

Mereka,
Mereka yang hanya memilih dan memikirkan dirinya sendiri
Mereka yang menyelamatkan diri dari luka
Menengok hatinya sendiri
Tanpa pernah melihat apa yang ada di sini,
Di hatiku.

Dan si Bodoh ini tetaplah Bodoh
Selalu tertipu dan tertipu lagi
Tidak pernah bosan untuk terjatuh kemudian terjatuh lagi

Mungkin karena ia tidak pernah berkaca
Betapa lebih indah ketika ia tersenyum
dari pada memperlihatkan wajah yang sendu dan mata yang sembab
atau ia lebih suka menyuguhkan senyuman hambar dan penuh dengan kepura-puraan
Share:
Read More
,

Citumang, 02122012

Citumang,
Minggu, 02 Desember 2012

Setelah beberapa bulan rehat tidak berjalan-jalan, akhirnya kemarin Minggu kita melancong lagi ke Citumang. Meskipun dengan mendadak, tanpa perencanaan sama sekali. Tapi perjalanan kali ini sunggu seru.

Selamat Datang di Citumang






Tim Super Kompak. ^^


Hanya berbekal tenaga untuk memanjat ke atas tempat penyerahan nyawa dan cuma di fasilitasi akar-akar pohon.



Sensasi paling gila dari Citumang: loncat dari ketinggian 7m.




Hujan kemarin malam (malam minggu) mengakibatkan arus sungai menjadi deras. ===> Semakin meningkatkan daya juang.






Di pertengahan sungai aliran air sangat tenang.




Niatnya sih akting aliran sungai di sini deras, dan kita hampir saja terbawa arus. Tapi berdiri tegaknya Mas Gun (paling belakang, dengan pelampung warna biru) mematahkan semuanya. -___-'


di atas Bendungan


Menuju finish!





Yeahh... Setelah melewati aral melintang, derasnya aliran air, pertikaian-pertikaian kecil yang sedikit mangganggu kekompakan kami, saling menenggelamkan, saling mencemburui, di tambah adegan india-indiaan (tenang itu dilebih-lebihkan, hahaha) akhirnya kami sampai juga di finish.

----------------------------------------

Jalan-jalan kali ini sunggu luar biasa. Selain disuguhi dengan tantangan-tantangan yang memacu adrenalin, kami juga di suguhi dengan pemandangan alam yang masih sangat alami. Kesejukan yang menenangkan, bau harum tanah basah, wanra hijau dari pepohonan yang meneduhkan, dan kebersamaan yang menyempurnakan semuanya.

Sampai ketemu di jalan-jalan berikutnya. ^^
Share:
Read More
, , ,

Jingga dan Yona: Cerita Jingga


Cerita dari dia pemilik nama Jingga:

Juni, 2009

Dia seseorang dari masa lalu, kemarin berkunjung dengan membawa sebuket bunga yang tidak pernah saya sukai. Dia tahu itu, tapi itu layaknya ritual kesucian yang harus selalu ia lakukan. Dia datang dengan tampang lupa akan salah dan dosa. Memamerkan barisan giginya yang rapih dan putih. Dia memang selalu seperti itu, seperti dulu. Merasa benar atas kesalahan apapun. Merasa semuanya harus selalu dimaklumi. Memang sesekali berucap maaf, namun kemudian berprilaku sama seperti sebelumnya.

Dulu saya bertahan, karena saya pikir saya telah berjuang banyak dengannya. Melewati berbagai ketidak adilan bagi kami. Tak menggubris berbagai cacian dari mulut-mulut yang otaknya hanya dipenuhi dengan ke-sok tahuan. Saya bertahan hanya demi kata kita. Kebersamaan yang sangat sulit kami raih, karena masih ada jemari-jemari yang menggenggam tangan kami masing-masing, saat pertama kali Waktu mempertemukan kami.

Kami hanya menuntun diri menuju rasa nyaman. Nyaman yang damai. Mengikuti detakan demi detakan yang semakin riuh saat kami bertatapan. Ya… Kami hanya mengikuti itu.

Berbagi kisah kami goreskan dalam 2 tahun kebersamaan kami. Kata putus yang selalu terucap tak pernah bisa tertahankan. Meski itu hanya karena hal-hal kecil dan sepele. Namun kami selalu kembali, kembali pada nyaman yang damai. Kembali kepada rumah. Kami saling membutuhkan satu sama lain.

Dan kemarin adalah pertemuan kami setelah 1 tahun kata putus terucap, dan tidak pernah kami coba sambung kembali. 1 tahun yang berat tanpanya. Berjalan mengelilingi kota tanpa genggaman tangannya. Melewati café favorite kami, yang tak pernah lagi saya kunjungi karena selalu teringat akan dirinya. Memberi makan ikan-ikan koi di kolam taman kota tanpa canda dan tawanya. Mengurusi molly dan myllo (sepasang hamster yang kami beli dari Bapak tua, yang mengahpiri kami di taman kota) sendirian, tanpa kericuhan dia saat saya memandikan mereka.

Ya… Saya sangat merindukannya, sangat. Tapi itu bukan berarti saya akan mengucapkan kata kembali, setelah penghianatann keji yang telah ia lakukan dengan seseorang yang saya sebut sahabat dulu. Bercinta di belakang saya tanpa pernah terketahui. Dia memang tidak pernah mau belajar dari apa yang disebut masa lalu. Dia terlalu angkuh untuk menyadari. Dan itu satu karma terperih yang telah sangat melukai hati dan perasaan saya.

Ya… Dan saya membiarkan mereka tertawa puas, mereka yang mencaci-maki kebersamaan kami di awal. Tertawa puas atas keterpurukan yang saya alami. Karena saya sadar akan kesalahan masa lalu saya, yang telah menyakiti 2 hati. 2 hati yang merelakan kebersamaan kami didasari pada apa yang mereka katakana “Cinta itu tidak harus selalu memiliki, dan akan selalu bahagia jika yang dikasihi bahagia.”  Kami seegois itu dulu.

Saya layaknya raga tampa nyawa selama 3 bulan setelah kejadian itu. Melepaskan separuh jiwa pada sebuah penghianatan.

Dan kini dia datang, membawa separuh jiwanya. Untuk disatukan kembali dengan hati saya. Tapi saya lelah. Dan apa ini cukup adil bagi saya, dia dan mereka?


Share:
Read More
,

Sedikit Saja


Benarkah hati selalu menemukan jalannya sendiri menuju rumah? Benarkah itu tugas hati? Jika itu benar, kenapa harus setakut ini untuk mempercayai?

Mungkin aku hanya takut pada keliru atau sebuah ingin? Adakah yang bisa dijelaskan untuk itu? Aku butuh sedikit penjelasan, sebelum akhirnya mempercayai. Sedikit saja, untuk memberiku kekuatan. Tapi bukan yang ditunjukan dalam gamang atau remang.
--------------------------------------------------------------------
Kepada mereka aku selalu bersuara
Pada pagi, langit dan secangkir kopi
Pada senja, pantai dan matahari tenggelam
Pada malam, keheningan dan alam maya

Hanya pada mereka aku mampu bersuara
Sebab hanya mereka yang mampu mendengar
Mereka sesekali berjawab,
Meski mereka titipkan itu pada isyarat
Menceritakannya pada ragu
Yang kemudian ia memburu
--------------------------------------------------------------------
Kamu, itu kah kamu yang menunggu? Atau kah aku yang harus menunggu? Rasanya aku terlalu lelah mencari, menunggu pun begitu. Ah... Aku memang seseorang yang tidak memiliki kesabaran. Terlalu sering mengeluh pada riuh dan kisruh.

Memang tidak ada yang pasti dalam pertaruhan, bukan begitu? Jadi seharusnya aku tidak memaksa pada kepastian. Biar saja waktu yang kelak berjawab.
Share:
Read More

New Template

Mungkin ada yang bertanya atau tidak. Untuk yang bertanya selamat anda akan segera mendapatkan jawaban. Dan untuk yang tidak, anggaplah ini informasi gratis. Yang gak bertanya pasti tambah gak ngerti saya mau nulis apa. Dan bagi yang bertanya, pasti juga  sama gak ngerti. Hehehe

Maaf-maaf, telah bertele-tele dan gak jelas. Ini sebetulnya soal "New Template". Sudah lama padahal saya ingin mengganti template yang sebelumnya dengan yang baru, tapi belum juga mendapatkan ide untuk mengganti dengan yang seperti apa.

Dan malam itu saya berkonsultasi dengan Mbak Mega (maaf jika bosan mendengar nama itu) tapi memang cuma dialah yang bisa saya mintai bantuan. Konsultan gratis saya, dalam segala hal. Sebetulnya tidak terlalu harus juga minta saran orang lain untuk merombak blog ini, tapi karena blog ini sudah mulai rada diminati oleh segelintir orang. Jadilah saya dilema harus mengganti dengan template yang mana. Padahal pada akhirnya saran dari Mbak Mega tidak saya turuti. Hehehe. Tapi memang, kalau tidak meminta saran dari dia itu rasa-rasanya kurang afdol. (Tolong digarisbawahi! Untuk yang satu ini berlebihan). 

Dan ketemulah malam itu saya dengan template yang sekarang ini. Saat melihatnya pertama kali, saya tidak kontan langsung jatuh cinta seperti halnya pertama kali melihat template saya yang sebelumnya. Tapi melihat tempalet ini rasanya tenang sekali. Template ini terlihat sangat sederhana, nyaman, dan asri. Sangat jauh berbeda bukan dengan yang sebelumnya. Sedikit ingin merubah image juga, menjadi sedikit dewasa. Hehe.

Jadi selamat menikmati "My New Template". Semoga kalian-kalian juga merasakan kenyamanan yang sama dengan saya, saat membaca tulisan-tulisan di blog ini. Amin.

Share:
Read More
,

Memburu Matahari di Senja dan Pagi


Ada sebilah rindu yang selalu memburu senja dan menunggui pagi.
--------------------------------------------------------------------
Ini hari pertama di mana Rindu memburu senja. Memburu matahari yang akan tenggelam pada peraduannya. Untuk kali pertama ini ia berhasil memburu senja. Tapi esoknya ia terlambat memburu pagi. Ia terlalu malam terlelap, karena memaksakan diri terus terjaga. Namun ia mengalah pada kantuk di dini hari. Ia kemudian terlelap. Namun di esok hari saat ia terbanguna, ia sudah kehilangan matahari. Matahari telah jauh pergi dari peraduan pagi. Rindu menyesal tidak terlelap di sore hari setelah pulang dari peraduan matahari di kala senja kemarin. Atau mungkin ia bisa meneguk beberapa cangkir kopi, supaya bisa terjaga sampai pagi. Bukan kalah di dini hari, dan terlambat.

Hari kedua ia menunggu lagi sampai senja menjelang. Mengucapkan selamat tinggal pada matahari yang perlahan tak tampak. Berpengharapan esok hari di saat pagi ia bisa menemuinya kembali.

Setelah ia pulang dari tempat mengantarkan matahari ia tampak gelisah, karena takut kejadian kemarin malam terulang kembali. Bimbang antara harus terlelap atau terus terjaga. Ia mencari cara, dan menemukan sedikit ide. Mungkin akan menyenangkan jika berbincang dengan Rasa sampai esok pagi. Ia bersemangat untuk perbinacangan itu. Dia beranjak dan menemui Rasa. Menyampaikan maksudnya, dan kemudian mereka benar-benar berbincang. Namun Rasa semakin mendominasi perbincangan, Rasa menggalau. Rindu hanya terdiam menyimak Rasa bercerita, sembari menunggu gilirannya. Namun sampai dini hari Rasa tetap terus bercerita tanpa mau berhenti. Dan Rindu kini mulai terkantuk-kantuk lagi, merasa nyaman di dongengi. Setelah beberapa kali menguap, Rindu pun terlelap lagi. Mengalah lagi pada kantuk.

Kemudian di esok harinya lagi, ia kembali terlalmbat. Merasa sangat kesal dan ingin memarahi Rasa. Namun ia urungkan niatnya itu, karena dirasanya itu tidak sepenuhnya salah Rasa.

Ia kembali lagi menunggui senja dan mengantarkan matahari keperaduannya. Kemudian pulang dan menyusun rencana untuk menyambut matahari di esok pagi. Namun rangkaian kejadian itu terus berulang. Ia selalu berhasil memburu senja, namun selalu tidak dapat menemui matahari di esok pagi. Karena Rindu selalu saja kalah pada kantuk dan terlambat terbangun di kemudian hari. Mungkin sampai berpuluhan kali ia mencobanya denagn berbagai cara. Namun tetap saja ia selalu tidak berhasil.

Dan sampailah ia kini di titik jenuh, bosan, dan capek. Kali ini ia berhenti. Ia berpasrah pada diri. Ia meyakini dirinya telah berusaha, dan jika kini usahanya belum membuahkan hasil mungkin ini masih belum saatnya. Atau ia memang benar-benar tidak bisa melawan kantuk.

Dan kini ia akan menunngu. Bukan menunggu sampai ia mampu, tapi ia akan menunggu sebilah rindu lagi. Yang akan menemaninya melewati malam, dan membangunkannya di esok pagi saat ia telah kalah lagi dengan kantuk.
--------------------------------------------------------------------
Dan jadilah sepasang Rindu yang menghantar matahari terbenam di senja yang jingga. Kemudian menunggu pagi untuk menyambut matahari yang perlahan muncul dari peraduannya. Menuai segala rindu, menjadikannya kehangatan yang aman dan nyaman.


                             
                                                       Gambar diambil dari sini.
Share:
Read More
,

Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah Diri


Malam ini, malam Senin, tanggal 18 November 2012. Kombinasi tanggalnya tidak cantik sih, tapi hari ini terjadi sentuhan-sentuhan halus pada sanubari yang seringkali terusik.

Pertama:

Dari kemarin sore dan kemarinnya lagi, aku dihantui rasa bersalah. Kenapa? Sudah pasti dong jawabannya, karena. Hehe. Iya, jadi semuanya itu karena aku mengambil libur berbarengan dengan rekan kerjaku padahal sebelumnya kami selalu bergantian. Ditambah, liburnya 2 hari berturut lagi. Hal yang sangat langka sekali terjadi di perjalanan karir ku, cie ileh. Haha. Jadilah hari minggu ini, hari yang mendebarkan, takut di marahi si Bos soalnya. Tapi untungnya dini hari tadi ada yang membangunkanku untuk tahajud. Tapi gara-gara sudah setengah empat, aku ngedumel dalam selimut malas sekali untuk bangun. Hehe. Eh, jadinya sampai subuh tidak bisa tidur lagi. Tapi untungnya lagi, subuh sekarang jam 4, jadi jatah tidurku hanya berkurang setengah jam saja. Aku shalat subuh, dan berdoa tentunya untuk keselamatanku pagi ini. Setelah berdoa dengan khusyu aku tidur lagi. Memanfaatkan waktu yang ada. ^___^

Aku bangun dengan masih dihantui rasa bersalah pada pekerjaan yang pasti menumpuk dan agak meringis membayangkan muka si Bos. Tapi aku pasrah dan berserah diri pada yang Maha Kuasa. Terlihat berlebihan, kah? Harusnya tidak, karena itu benar-benar mendebarkan.

Dan waktu masuk kantor, suasana lengang. Tidak ada satu pun orang. Alhmdulillah satu kelegaan. Hehe. Namun satu demi satu orang-orang semakin bermunculan, dan terakhir si Bos. Deg... Deg... Deg... Aku sama sekali tidak menoleh. Terus menatap layar komputer dengan khusyu. Pura-pura berfokus pada angka-angka, padahal hati sudah tidak menentu.

“Wi...!” DUG... DUG... DUG... Itu suara si Bos.

“Ini tagihan bengkel Hegar Manah besok di bayar ya!” Terdengar suara si Bos dengan nada yang sangat lembut. Kalian tahu, betapa leganya aku? Itu sungguh luar biasa. Hahaha.

Dan itu hal yang pertama tentang Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah diri kepada-Nya.

Kedua:

Ini tentang labil yang telah lama teralami. Tentang bimbang di hati. Tentang rasa dan diri sendiri.

Aku berlari ke kanan waktu itu dan terpentok pada dinding keras tak berpintu, kemudian terpelanting ke arah yang berlawanan. Namun aku masih diam di tempat terakhir, mencoba bertahan untuk meneguk secangkir kebahagian, meski setetes pun tidak mengapa. Namun aku berputus asa. Kemudian aku berlari ke kiri. Dan tahu hasilnya seperti apa? Nihil yang sama, bahkan lebih tersia-sia. Dan tadi saat aku berselancar di dunia maya, aku tertampar lagi pada sebuah kenyataan. Tidak ada tempat untukku, sama sekali tidak ada. Perih. Satu tetesan bening meluncur dari sudut mataku. Ya... Hanya satu tetes saja. Terbiasa dengan perih membuat mataku lebih baik lagi menjaga air matanya.

Hatiku berdendam menyaksikan perih, kemudian berdalih. Namun aku kembali, pada nalar yang serupa di awal. Aku menyaksikan kilas balik dari semua perjalanan ini. Dan aku terhenyak saat menyadari betapa beruntungnya aku masih berada di tempat yang sama, yaitu di kenihilan. Ya... Betapa beruntungnya aku tidak masuk ke dalam pengharapan yang seharusnya tidak di sana aku menggantungkan sebuah angan. Karena ternyata aku masih dilindungi oleh Sang Pencipta, masih dikasihi oleh-Nya, dan masih di beri kesadaran untuk itu semua.

Dan aku menyadari zonaku saat ini masih di penantian. Aku masih belum layak untuk berdampingan dengan siapapun, karena dengan waktu pun aku masih sering menyalahkannya dan mengeluh padanya.

Jadi ini tentang Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah diri kepada-Nya yang kedua. Aku benar-benar mempasrahkan semuanya. Tidak ada pertaruhan yang paling menenangkan selain menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Dia pemilik hidup kita, Dia paling tahu mana yang terbaik untuk kita, dan Dia-lah pemilik sang waktu. Jadi sekalipun saat ini tidak ada keberpihakan kepdaku, tidak ada yang berkonspirasi  denganku. Aku yakin aku baik-baik saja. Karena di genggamanku ada Keyakinan dan Kepercayaan, serta di hatiku ada Kepasrahan dan Penyerahan diri kepada-Nya.






Share:
Read More

Hening adalah Duniaku

Aku selalu terbangun dan terbangun. Dan aku sangat bersyukur untuk itu semua. Aku bersyukur karena selalu diberi kesempatan untuk membuka mata dan menghirup lagi sang udara.  Menyaksikan dan menikmati kembali warna-warni dunia kecilku yang semakin hari semakin hening dengan si Merah Marun (Hape E63 paling setia, sekali pun sudah puluhan kali terbanting. He), si Jagoan Hitamku (motor bebek tua yang diwariskan kakekku), si Biru Muda (notebook yang sangat menguras  kantongku) dan secangkir kopi pelengkap dari segala sesuatu.

Duniaku tanpa keramaian. Hening dalam balutan tawa sederhana. Hanya ada 2 sahabatku kemarin, dan sekarang cuma tinggal satu orang saja. Karena satu di antara mereka bertugas ke Sumatrra Utara, di Medan tepatnya. Biasanya Isus (yang di Medan itu) adalah pemeriah, peramai dari duniaku yang hening. Orang paling aneh dengan kadar autisme yang kadang-kadang sangat akut. Namun sekarang dia berada jauh di sana, semakin menambah keheningan duniaku.

Duniaku tanpa keramaian. Melukis kenangan hanya di kotak pesan masuk handphone, dan di timeline twitter atau di Direct Message-nya. Hanya barisan kata yang berbicara tanpa sebuah suara dan kebisingan. Bermain-main dengan rasa, mencoba mecari kedamaian yang nyaman.

Duniaku tanpa keramaian, tempat tanpa kebisingan yang hening.  Menikmati senja dengan earphone di telinga, berjalan di pinggir pantai tanpa sesorang mengiringi di sisi. Lengang, di antara tawa renyah penikmat senja lainnya.

Tapi benarkah heningku sepi? Sepi karena tidak ada riuh keramaian, tidak ada sorakan, tidak ada pengobar api semangat, tidak ada gelak tawa nyata di depan mata, dan tidak ada degup jantung yang menandakann jatuh cinta. Benarkah sesepi itu? Tidak. Heningku tidak berarti sepi dan tidak selalu sepi karena mereka yang di sekelilingku, ya... mereka semesta bernyawa. Mereka hidup untuk mengisi perjalananku, perjalanan yang mungkin akan terasa sangat singkat.


Share:
Read More

Ini Pagi


Pagi selalu menjadi sebuah awal. Awal untuk membuat cerita baru. Aku selalu menyukainya. Pagi seperti pengampunan maaf, pengampunan atas dosa kemarin. Betapa tidak, jika kita masih diberi hidup saat setelah kita melakukan kelalaian-kelalaian, dosa-dosa, dan kesalahan-kesalahan di hari yang telah lalu.


Menghirup udara pagi selalu membuatku tidak berhenti-hentinya bersyukur atas sebuah nikmat kehidupan. Merasakan betapa besarnya nikmat Tuhan.

Pagi dan apa yang ada di sekelilingnya memberi ruangan tidak terbatas untuk bermimpi. Untuk menata asa yang kemarin sempat terpatahkan, karena terjatuh dalam sebuah pengharapan.

Kesederhanaan pagi di udara lembutnya, di satu-dua tetesan embunya dan di seberkas cahayanya mengisyaratkan untuk selalu hidup dengan apa adanya. Nyaman menjadi seseorang yang memiliki diri sendiri. Mencintai apa yang kita punya, dan bersabar untuk apa yang kita ingini.

Sekali pun pagi mendung, membuat lebih nyaman berada di balik selimut dan mengesankan  sebuah kemalasan. Tapi pagi tetaplah pagi dengan selalu membawa dunia baru. Dunia yang harus dijadikan berbeda dari hari sebelumnya. Perlahan berjalan dan perlahan naik ketingkatan yang lebih baik. Tidak usah terburu-buru cukup dengan menikmati detik demi detik perubahan itu. Menjadikannya sebuah perjalanan dengan arti yang besar.
Share:
Read More