Aku selalu terbangun dan
terbangun. Dan aku sangat bersyukur untuk itu semua. Aku bersyukur karena
selalu diberi kesempatan untuk membuka mata dan menghirup lagi sang
udara. Menyaksikan dan menikmati kembali warna-warni dunia kecilku yang
semakin hari semakin hening dengan si Merah Marun (Hape E63 paling setia,
sekali pun sudah puluhan kali terbanting. He), si Jagoan Hitamku (motor bebek
tua yang diwariskan kakekku), si Biru Muda (notebook yang sangat menguras
kantongku) dan secangkir kopi pelengkap dari segala sesuatu.
Duniaku tanpa keramaian.
Hening dalam balutan tawa sederhana. Hanya ada 2 sahabatku kemarin, dan
sekarang cuma tinggal satu orang saja. Karena satu di antara mereka bertugas ke
Sumatrra Utara, di Medan tepatnya. Biasanya Isus (yang di Medan itu) adalah
pemeriah, peramai dari duniaku yang hening. Orang paling aneh dengan kadar
autisme yang kadang-kadang sangat akut. Namun sekarang dia berada jauh di sana,
semakin menambah keheningan duniaku.
Duniaku tanpa keramaian.
Melukis kenangan hanya di kotak pesan masuk handphone, dan di timeline twitter
atau di Direct Message-nya. Hanya barisan kata yang berbicara tanpa sebuah
suara dan kebisingan. Bermain-main dengan rasa, mencoba mecari kedamaian yang
nyaman.
Duniaku tanpa keramaian,
tempat tanpa kebisingan yang hening. Menikmati senja dengan earphone di
telinga, berjalan di pinggir pantai tanpa sesorang mengiringi di sisi. Lengang,
di antara tawa renyah penikmat senja lainnya.
Tapi benarkah heningku
sepi? Sepi karena tidak ada riuh keramaian, tidak ada sorakan, tidak ada
pengobar api semangat, tidak ada gelak tawa nyata di depan mata, dan tidak ada
degup jantung yang menandakann jatuh cinta. Benarkah sesepi itu? Tidak. Heningku
tidak berarti sepi dan tidak selalu sepi karena mereka yang di sekelilingku,
ya... mereka semesta bernyawa. Mereka hidup untuk mengisi perjalananku,
perjalanan yang mungkin akan terasa sangat singkat.
No comments:
Post a Comment