mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

,

Maaf, Mam!


Tadi pagi Mamah telepon. Pagi-pagi sekali. Tumben sekali pikirku. Tapi karena masih pagi dan saya baru selesai mandi, belum ganti baju atau apa pun. Maka saya potong pembicaraannya. Minta dia untuk menelepon lagi nanti saat saya sudah di kantor.

Sudah 3 minggu saya tidak pulang ke rumah, padahal dulu hampir tiap minggu saya pulang. Karena jarak dari rumah ke tempat saya sekarang tinggal hanya menempuh 1 jam perjalanan saja. Kecepatan perempuan. Malah pernah 1 minggu 2 kali. Sekarang lebih sering 1 bulan sekali. Semenjak saya meminta untuk tugas di luar jawa kepada Mamah, namun Mamah tidak mengizinkan. Saya jadi lebih sering menghabiskan liburan di mess, tanpa pulang ke rumah. Selain karena libur yang cuma 1 hari seminggu dan merasa capek kalau harus bolak-balik, saya juga agak kesal dengan beliau.

Saya sedikit paham tentang kekhawatiran beliau. Kalau saya masih terlalu muda untuk di lepaskan pergi. Saya masih terlalu lugu untuk mencicipi kerasnya dunia luar. Saya tahu itu. Dan karena saya seorang anak perempuan satu-satunya yang beliau miliki. Semata wayang. Beliau kekeh tidak mau ditinggalkan. Beliau pernah mengatakan saya lah satu-satunya penghibur baginya. Tentu saja, karena Mamah  tidak memiliki seorang suami. Bukan saya tidak memiliki ayah. Tapi orang tua saya sudah berpisah semenjak usia saya 10 tahun, masih duduk di kelas 4 SD waktu itu. Peristiwa yang sangat membekas sampai detik ini. Mamah pernah mencoba membina rumah tangga 2 kali dengan orang yang berbeda setelah dengan ayah saya. Tapi cuma bertahan 1,5 tahunan berasama keduanya. Dan kini Mamah memilih untuk sendiri. Lebih bebas katanya.

Ya... Saya mengerti Mamah kesepian, tapi bukankah sama saja dengan saya di sini sekarang. Toh kami tidak tinggal dalam 1 atap lagi. Mamah di rumah, dan saya di tempat kerja. Dan itulah alasannya kenapa jadwal pulang saya di kurangi. Agar Mamah dan saya bisa belajar hidup berjarak. Bukannya kami tidak pernah seperti itu. Bahkan kami sudah mencobanya selama 10 tahun lalu. Semenjak perpisahan orang tua saya, saya tidak tinggal lagi dengan Mamah. Saya memilih untuk tinggal bersama nenek saya, nenek dari Mamah. Karena saya tidak mau ikut dengan suami dari Mamah, selain itu saya juga harus bersekolah. Dan jarak rumah Mamah dari sekolah tidak memungkinkan saya untuk bisa tinggal di sana. Mungkin, Mamah juga rindu bisa tinggal berasama dengan saya lagi. Bukan saya tidak rindu, tapi saya lebih sering mengabaikannya. Waktu 10 tahun sudah cukup membuat saya belajar tanpa beliau di samping saya.

Namun kemarin-kemarin ini saya sangat ingin pulang. Sampai tadi pagi, saat baru bangun tidur saya berceletuk ingin pulang kepada Mbak Meg. Dan telepon dari Mamah tadi pagi di kantor, meyakinkan saya kalau saya harus pulang. Ternyata beliau sakit dan harus di periksa. Sepertinya maagnya kambuh lagi, beliau sampai tidak bisa berjalan.

Saya baru mengerti sekarang. Bagaimana kalau nanti jarak tidak memungkinkan saya untuk bisa pulang ke rumah dengan hanya sekali telepon saja. Saya sekarang mengerti tentang ketakutannya. Dan saya sadar, kalau saya lebih sering mengabaikannya. Mengatakan akan pulang minggu ini, tapi malah pulang minggu berikutnya atau berikutnya lagi. Tapi saya tidak pernah meminta maaf kepada beliau. Saya mungkin malu, karena terlalu sering. Atau karena kami tidak sedekat itu untuk bicara hati ke hati. Rasanya mengatakan kalau saya menyayanginya pun masih bisa dihitung dengan jari. Karena kami memang tidak pernah sedekat itu. Saya selalu menghindar untuk berbicara hati ke hati dengan beliau. Ada sedikit kecewa yang mengganjal. Dan saya tidak mau kekecewaan itu terkuak dan menyakiti beliau. Tapi setidaknya telepati ibu dan anak di antara kami masih ada. Saya bersyukur untuk itu.

"Dan maaf atas jarak yang selalu aku ciptakan, Mam. Maaf."




Share:

No comments: