Tadi pagi Mamah telepon. Pagi-pagi sekali. Tumben
sekali pikirku. Tapi karena masih pagi dan saya baru selesai mandi, belum ganti
baju atau apa pun. Maka saya potong pembicaraannya. Minta dia untuk menelepon
lagi nanti saat saya sudah di kantor.
Sudah 3 minggu saya tidak pulang ke rumah, padahal dulu hampir tiap minggu saya pulang. Karena jarak dari rumah ke tempat saya sekarang
tinggal hanya menempuh 1 jam perjalanan saja. Kecepatan perempuan. Malah pernah
1 minggu 2 kali. Sekarang lebih sering 1 bulan sekali. Semenjak saya meminta
untuk tugas di luar jawa kepada Mamah, namun Mamah tidak mengizinkan. Saya jadi
lebih sering menghabiskan liburan di mess, tanpa pulang ke rumah. Selain karena
libur yang cuma 1 hari seminggu dan merasa capek kalau harus bolak-balik, saya
juga agak kesal dengan beliau.
Saya sedikit paham tentang kekhawatiran beliau. Kalau saya masih
terlalu muda untuk di lepaskan pergi. Saya masih terlalu lugu untuk mencicipi
kerasnya dunia luar. Saya tahu itu. Dan karena saya seorang anak perempuan
satu-satunya yang beliau miliki. Semata wayang. Beliau kekeh tidak mau
ditinggalkan. Beliau pernah mengatakan saya lah satu-satunya penghibur baginya.
Tentu saja, karena Mamah tidak memiliki seorang suami. Bukan saya tidak
memiliki ayah. Tapi orang tua saya sudah berpisah semenjak usia saya 10 tahun,
masih duduk di kelas 4 SD waktu itu. Peristiwa yang sangat membekas sampai
detik ini. Mamah pernah mencoba membina rumah tangga 2 kali dengan orang yang
berbeda setelah dengan ayah saya. Tapi cuma bertahan 1,5 tahunan berasama
keduanya. Dan kini Mamah memilih untuk sendiri. Lebih bebas katanya.
Ya... Saya mengerti Mamah kesepian, tapi bukankah sama saja dengan
saya di sini sekarang. Toh kami tidak tinggal dalam 1 atap lagi. Mamah di
rumah, dan saya di tempat kerja. Dan itulah alasannya kenapa jadwal pulang saya
di kurangi. Agar Mamah dan saya bisa belajar hidup berjarak. Bukannya kami
tidak pernah seperti itu. Bahkan kami sudah mencobanya selama 10 tahun lalu. Semenjak
perpisahan orang tua saya, saya tidak tinggal lagi dengan Mamah. Saya memilih
untuk tinggal bersama nenek saya, nenek dari Mamah. Karena saya tidak mau ikut
dengan suami dari Mamah, selain itu saya juga harus bersekolah. Dan jarak rumah
Mamah dari sekolah tidak memungkinkan saya untuk bisa tinggal di
sana. Mungkin, Mamah juga rindu bisa tinggal berasama dengan saya lagi.
Bukan saya tidak rindu, tapi saya lebih sering mengabaikannya. Waktu 10 tahun
sudah cukup membuat saya belajar tanpa beliau di samping saya.
Namun kemarin-kemarin ini saya sangat ingin pulang. Sampai tadi
pagi, saat baru bangun tidur saya berceletuk ingin pulang kepada Mbak Meg. Dan
telepon dari Mamah tadi pagi di kantor, meyakinkan saya kalau saya harus
pulang. Ternyata beliau sakit dan harus di periksa. Sepertinya maagnya kambuh
lagi, beliau sampai tidak bisa berjalan.
Saya baru mengerti sekarang. Bagaimana kalau nanti jarak tidak
memungkinkan saya untuk bisa pulang ke rumah dengan hanya sekali telepon saja.
Saya sekarang mengerti tentang ketakutannya. Dan saya sadar, kalau saya lebih
sering mengabaikannya. Mengatakan akan pulang minggu ini, tapi malah pulang
minggu berikutnya atau berikutnya lagi. Tapi saya tidak pernah meminta maaf
kepada beliau. Saya mungkin malu, karena terlalu sering. Atau karena kami tidak
sedekat itu untuk bicara hati ke hati. Rasanya mengatakan kalau saya
menyayanginya pun masih bisa dihitung dengan jari. Karena kami memang tidak
pernah sedekat itu. Saya selalu menghindar untuk berbicara hati ke hati dengan
beliau. Ada sedikit kecewa yang mengganjal. Dan saya tidak mau kekecewaan itu
terkuak dan menyakiti beliau. Tapi setidaknya telepati ibu dan anak di antara
kami masih ada. Saya bersyukur untuk itu.
"Dan maaf atas jarak yang selalu aku ciptakan, Mam.
Maaf."

No comments:
Post a Comment