mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

, , ,

Jingga dan Yona: Cerita Jingga


Cerita dari dia pemilik nama Jingga:

Juni, 2009

Dia seseorang dari masa lalu, kemarin berkunjung dengan membawa sebuket bunga yang tidak pernah saya sukai. Dia tahu itu, tapi itu layaknya ritual kesucian yang harus selalu ia lakukan. Dia datang dengan tampang lupa akan salah dan dosa. Memamerkan barisan giginya yang rapih dan putih. Dia memang selalu seperti itu, seperti dulu. Merasa benar atas kesalahan apapun. Merasa semuanya harus selalu dimaklumi. Memang sesekali berucap maaf, namun kemudian berprilaku sama seperti sebelumnya.

Dulu saya bertahan, karena saya pikir saya telah berjuang banyak dengannya. Melewati berbagai ketidak adilan bagi kami. Tak menggubris berbagai cacian dari mulut-mulut yang otaknya hanya dipenuhi dengan ke-sok tahuan. Saya bertahan hanya demi kata kita. Kebersamaan yang sangat sulit kami raih, karena masih ada jemari-jemari yang menggenggam tangan kami masing-masing, saat pertama kali Waktu mempertemukan kami.

Kami hanya menuntun diri menuju rasa nyaman. Nyaman yang damai. Mengikuti detakan demi detakan yang semakin riuh saat kami bertatapan. Ya… Kami hanya mengikuti itu.

Berbagi kisah kami goreskan dalam 2 tahun kebersamaan kami. Kata putus yang selalu terucap tak pernah bisa tertahankan. Meski itu hanya karena hal-hal kecil dan sepele. Namun kami selalu kembali, kembali pada nyaman yang damai. Kembali kepada rumah. Kami saling membutuhkan satu sama lain.

Dan kemarin adalah pertemuan kami setelah 1 tahun kata putus terucap, dan tidak pernah kami coba sambung kembali. 1 tahun yang berat tanpanya. Berjalan mengelilingi kota tanpa genggaman tangannya. Melewati café favorite kami, yang tak pernah lagi saya kunjungi karena selalu teringat akan dirinya. Memberi makan ikan-ikan koi di kolam taman kota tanpa canda dan tawanya. Mengurusi molly dan myllo (sepasang hamster yang kami beli dari Bapak tua, yang mengahpiri kami di taman kota) sendirian, tanpa kericuhan dia saat saya memandikan mereka.

Ya… Saya sangat merindukannya, sangat. Tapi itu bukan berarti saya akan mengucapkan kata kembali, setelah penghianatann keji yang telah ia lakukan dengan seseorang yang saya sebut sahabat dulu. Bercinta di belakang saya tanpa pernah terketahui. Dia memang tidak pernah mau belajar dari apa yang disebut masa lalu. Dia terlalu angkuh untuk menyadari. Dan itu satu karma terperih yang telah sangat melukai hati dan perasaan saya.

Ya… Dan saya membiarkan mereka tertawa puas, mereka yang mencaci-maki kebersamaan kami di awal. Tertawa puas atas keterpurukan yang saya alami. Karena saya sadar akan kesalahan masa lalu saya, yang telah menyakiti 2 hati. 2 hati yang merelakan kebersamaan kami didasari pada apa yang mereka katakana “Cinta itu tidak harus selalu memiliki, dan akan selalu bahagia jika yang dikasihi bahagia.”  Kami seegois itu dulu.

Saya layaknya raga tampa nyawa selama 3 bulan setelah kejadian itu. Melepaskan separuh jiwa pada sebuah penghianatan.

Dan kini dia datang, membawa separuh jiwanya. Untuk disatukan kembali dengan hati saya. Tapi saya lelah. Dan apa ini cukup adil bagi saya, dia dan mereka?


Share:
Read More
,

Sedikit Saja


Benarkah hati selalu menemukan jalannya sendiri menuju rumah? Benarkah itu tugas hati? Jika itu benar, kenapa harus setakut ini untuk mempercayai?

Mungkin aku hanya takut pada keliru atau sebuah ingin? Adakah yang bisa dijelaskan untuk itu? Aku butuh sedikit penjelasan, sebelum akhirnya mempercayai. Sedikit saja, untuk memberiku kekuatan. Tapi bukan yang ditunjukan dalam gamang atau remang.
--------------------------------------------------------------------
Kepada mereka aku selalu bersuara
Pada pagi, langit dan secangkir kopi
Pada senja, pantai dan matahari tenggelam
Pada malam, keheningan dan alam maya

Hanya pada mereka aku mampu bersuara
Sebab hanya mereka yang mampu mendengar
Mereka sesekali berjawab,
Meski mereka titipkan itu pada isyarat
Menceritakannya pada ragu
Yang kemudian ia memburu
--------------------------------------------------------------------
Kamu, itu kah kamu yang menunggu? Atau kah aku yang harus menunggu? Rasanya aku terlalu lelah mencari, menunggu pun begitu. Ah... Aku memang seseorang yang tidak memiliki kesabaran. Terlalu sering mengeluh pada riuh dan kisruh.

Memang tidak ada yang pasti dalam pertaruhan, bukan begitu? Jadi seharusnya aku tidak memaksa pada kepastian. Biar saja waktu yang kelak berjawab.
Share:
Read More

New Template

Mungkin ada yang bertanya atau tidak. Untuk yang bertanya selamat anda akan segera mendapatkan jawaban. Dan untuk yang tidak, anggaplah ini informasi gratis. Yang gak bertanya pasti tambah gak ngerti saya mau nulis apa. Dan bagi yang bertanya, pasti juga  sama gak ngerti. Hehehe

Maaf-maaf, telah bertele-tele dan gak jelas. Ini sebetulnya soal "New Template". Sudah lama padahal saya ingin mengganti template yang sebelumnya dengan yang baru, tapi belum juga mendapatkan ide untuk mengganti dengan yang seperti apa.

Dan malam itu saya berkonsultasi dengan Mbak Mega (maaf jika bosan mendengar nama itu) tapi memang cuma dialah yang bisa saya mintai bantuan. Konsultan gratis saya, dalam segala hal. Sebetulnya tidak terlalu harus juga minta saran orang lain untuk merombak blog ini, tapi karena blog ini sudah mulai rada diminati oleh segelintir orang. Jadilah saya dilema harus mengganti dengan template yang mana. Padahal pada akhirnya saran dari Mbak Mega tidak saya turuti. Hehehe. Tapi memang, kalau tidak meminta saran dari dia itu rasa-rasanya kurang afdol. (Tolong digarisbawahi! Untuk yang satu ini berlebihan). 

Dan ketemulah malam itu saya dengan template yang sekarang ini. Saat melihatnya pertama kali, saya tidak kontan langsung jatuh cinta seperti halnya pertama kali melihat template saya yang sebelumnya. Tapi melihat tempalet ini rasanya tenang sekali. Template ini terlihat sangat sederhana, nyaman, dan asri. Sangat jauh berbeda bukan dengan yang sebelumnya. Sedikit ingin merubah image juga, menjadi sedikit dewasa. Hehe.

Jadi selamat menikmati "My New Template". Semoga kalian-kalian juga merasakan kenyamanan yang sama dengan saya, saat membaca tulisan-tulisan di blog ini. Amin.

Share:
Read More
,

Memburu Matahari di Senja dan Pagi


Ada sebilah rindu yang selalu memburu senja dan menunggui pagi.
--------------------------------------------------------------------
Ini hari pertama di mana Rindu memburu senja. Memburu matahari yang akan tenggelam pada peraduannya. Untuk kali pertama ini ia berhasil memburu senja. Tapi esoknya ia terlambat memburu pagi. Ia terlalu malam terlelap, karena memaksakan diri terus terjaga. Namun ia mengalah pada kantuk di dini hari. Ia kemudian terlelap. Namun di esok hari saat ia terbanguna, ia sudah kehilangan matahari. Matahari telah jauh pergi dari peraduan pagi. Rindu menyesal tidak terlelap di sore hari setelah pulang dari peraduan matahari di kala senja kemarin. Atau mungkin ia bisa meneguk beberapa cangkir kopi, supaya bisa terjaga sampai pagi. Bukan kalah di dini hari, dan terlambat.

Hari kedua ia menunggu lagi sampai senja menjelang. Mengucapkan selamat tinggal pada matahari yang perlahan tak tampak. Berpengharapan esok hari di saat pagi ia bisa menemuinya kembali.

Setelah ia pulang dari tempat mengantarkan matahari ia tampak gelisah, karena takut kejadian kemarin malam terulang kembali. Bimbang antara harus terlelap atau terus terjaga. Ia mencari cara, dan menemukan sedikit ide. Mungkin akan menyenangkan jika berbincang dengan Rasa sampai esok pagi. Ia bersemangat untuk perbinacangan itu. Dia beranjak dan menemui Rasa. Menyampaikan maksudnya, dan kemudian mereka benar-benar berbincang. Namun Rasa semakin mendominasi perbincangan, Rasa menggalau. Rindu hanya terdiam menyimak Rasa bercerita, sembari menunggu gilirannya. Namun sampai dini hari Rasa tetap terus bercerita tanpa mau berhenti. Dan Rindu kini mulai terkantuk-kantuk lagi, merasa nyaman di dongengi. Setelah beberapa kali menguap, Rindu pun terlelap lagi. Mengalah lagi pada kantuk.

Kemudian di esok harinya lagi, ia kembali terlalmbat. Merasa sangat kesal dan ingin memarahi Rasa. Namun ia urungkan niatnya itu, karena dirasanya itu tidak sepenuhnya salah Rasa.

Ia kembali lagi menunggui senja dan mengantarkan matahari keperaduannya. Kemudian pulang dan menyusun rencana untuk menyambut matahari di esok pagi. Namun rangkaian kejadian itu terus berulang. Ia selalu berhasil memburu senja, namun selalu tidak dapat menemui matahari di esok pagi. Karena Rindu selalu saja kalah pada kantuk dan terlambat terbangun di kemudian hari. Mungkin sampai berpuluhan kali ia mencobanya denagn berbagai cara. Namun tetap saja ia selalu tidak berhasil.

Dan sampailah ia kini di titik jenuh, bosan, dan capek. Kali ini ia berhenti. Ia berpasrah pada diri. Ia meyakini dirinya telah berusaha, dan jika kini usahanya belum membuahkan hasil mungkin ini masih belum saatnya. Atau ia memang benar-benar tidak bisa melawan kantuk.

Dan kini ia akan menunngu. Bukan menunggu sampai ia mampu, tapi ia akan menunggu sebilah rindu lagi. Yang akan menemaninya melewati malam, dan membangunkannya di esok pagi saat ia telah kalah lagi dengan kantuk.
--------------------------------------------------------------------
Dan jadilah sepasang Rindu yang menghantar matahari terbenam di senja yang jingga. Kemudian menunggu pagi untuk menyambut matahari yang perlahan muncul dari peraduannya. Menuai segala rindu, menjadikannya kehangatan yang aman dan nyaman.


                             
                                                       Gambar diambil dari sini.
Share:
Read More
,

Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah Diri


Malam ini, malam Senin, tanggal 18 November 2012. Kombinasi tanggalnya tidak cantik sih, tapi hari ini terjadi sentuhan-sentuhan halus pada sanubari yang seringkali terusik.

Pertama:

Dari kemarin sore dan kemarinnya lagi, aku dihantui rasa bersalah. Kenapa? Sudah pasti dong jawabannya, karena. Hehe. Iya, jadi semuanya itu karena aku mengambil libur berbarengan dengan rekan kerjaku padahal sebelumnya kami selalu bergantian. Ditambah, liburnya 2 hari berturut lagi. Hal yang sangat langka sekali terjadi di perjalanan karir ku, cie ileh. Haha. Jadilah hari minggu ini, hari yang mendebarkan, takut di marahi si Bos soalnya. Tapi untungnya dini hari tadi ada yang membangunkanku untuk tahajud. Tapi gara-gara sudah setengah empat, aku ngedumel dalam selimut malas sekali untuk bangun. Hehe. Eh, jadinya sampai subuh tidak bisa tidur lagi. Tapi untungnya lagi, subuh sekarang jam 4, jadi jatah tidurku hanya berkurang setengah jam saja. Aku shalat subuh, dan berdoa tentunya untuk keselamatanku pagi ini. Setelah berdoa dengan khusyu aku tidur lagi. Memanfaatkan waktu yang ada. ^___^

Aku bangun dengan masih dihantui rasa bersalah pada pekerjaan yang pasti menumpuk dan agak meringis membayangkan muka si Bos. Tapi aku pasrah dan berserah diri pada yang Maha Kuasa. Terlihat berlebihan, kah? Harusnya tidak, karena itu benar-benar mendebarkan.

Dan waktu masuk kantor, suasana lengang. Tidak ada satu pun orang. Alhmdulillah satu kelegaan. Hehe. Namun satu demi satu orang-orang semakin bermunculan, dan terakhir si Bos. Deg... Deg... Deg... Aku sama sekali tidak menoleh. Terus menatap layar komputer dengan khusyu. Pura-pura berfokus pada angka-angka, padahal hati sudah tidak menentu.

“Wi...!” DUG... DUG... DUG... Itu suara si Bos.

“Ini tagihan bengkel Hegar Manah besok di bayar ya!” Terdengar suara si Bos dengan nada yang sangat lembut. Kalian tahu, betapa leganya aku? Itu sungguh luar biasa. Hahaha.

Dan itu hal yang pertama tentang Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah diri kepada-Nya.

Kedua:

Ini tentang labil yang telah lama teralami. Tentang bimbang di hati. Tentang rasa dan diri sendiri.

Aku berlari ke kanan waktu itu dan terpentok pada dinding keras tak berpintu, kemudian terpelanting ke arah yang berlawanan. Namun aku masih diam di tempat terakhir, mencoba bertahan untuk meneguk secangkir kebahagian, meski setetes pun tidak mengapa. Namun aku berputus asa. Kemudian aku berlari ke kiri. Dan tahu hasilnya seperti apa? Nihil yang sama, bahkan lebih tersia-sia. Dan tadi saat aku berselancar di dunia maya, aku tertampar lagi pada sebuah kenyataan. Tidak ada tempat untukku, sama sekali tidak ada. Perih. Satu tetesan bening meluncur dari sudut mataku. Ya... Hanya satu tetes saja. Terbiasa dengan perih membuat mataku lebih baik lagi menjaga air matanya.

Hatiku berdendam menyaksikan perih, kemudian berdalih. Namun aku kembali, pada nalar yang serupa di awal. Aku menyaksikan kilas balik dari semua perjalanan ini. Dan aku terhenyak saat menyadari betapa beruntungnya aku masih berada di tempat yang sama, yaitu di kenihilan. Ya... Betapa beruntungnya aku tidak masuk ke dalam pengharapan yang seharusnya tidak di sana aku menggantungkan sebuah angan. Karena ternyata aku masih dilindungi oleh Sang Pencipta, masih dikasihi oleh-Nya, dan masih di beri kesadaran untuk itu semua.

Dan aku menyadari zonaku saat ini masih di penantian. Aku masih belum layak untuk berdampingan dengan siapapun, karena dengan waktu pun aku masih sering menyalahkannya dan mengeluh padanya.

Jadi ini tentang Keyakinan, Kepercayaan, Pasrah dan Berserah diri kepada-Nya yang kedua. Aku benar-benar mempasrahkan semuanya. Tidak ada pertaruhan yang paling menenangkan selain menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Dia pemilik hidup kita, Dia paling tahu mana yang terbaik untuk kita, dan Dia-lah pemilik sang waktu. Jadi sekalipun saat ini tidak ada keberpihakan kepdaku, tidak ada yang berkonspirasi  denganku. Aku yakin aku baik-baik saja. Karena di genggamanku ada Keyakinan dan Kepercayaan, serta di hatiku ada Kepasrahan dan Penyerahan diri kepada-Nya.






Share:
Read More

Hening adalah Duniaku

Aku selalu terbangun dan terbangun. Dan aku sangat bersyukur untuk itu semua. Aku bersyukur karena selalu diberi kesempatan untuk membuka mata dan menghirup lagi sang udara.  Menyaksikan dan menikmati kembali warna-warni dunia kecilku yang semakin hari semakin hening dengan si Merah Marun (Hape E63 paling setia, sekali pun sudah puluhan kali terbanting. He), si Jagoan Hitamku (motor bebek tua yang diwariskan kakekku), si Biru Muda (notebook yang sangat menguras  kantongku) dan secangkir kopi pelengkap dari segala sesuatu.

Duniaku tanpa keramaian. Hening dalam balutan tawa sederhana. Hanya ada 2 sahabatku kemarin, dan sekarang cuma tinggal satu orang saja. Karena satu di antara mereka bertugas ke Sumatrra Utara, di Medan tepatnya. Biasanya Isus (yang di Medan itu) adalah pemeriah, peramai dari duniaku yang hening. Orang paling aneh dengan kadar autisme yang kadang-kadang sangat akut. Namun sekarang dia berada jauh di sana, semakin menambah keheningan duniaku.

Duniaku tanpa keramaian. Melukis kenangan hanya di kotak pesan masuk handphone, dan di timeline twitter atau di Direct Message-nya. Hanya barisan kata yang berbicara tanpa sebuah suara dan kebisingan. Bermain-main dengan rasa, mencoba mecari kedamaian yang nyaman.

Duniaku tanpa keramaian, tempat tanpa kebisingan yang hening.  Menikmati senja dengan earphone di telinga, berjalan di pinggir pantai tanpa sesorang mengiringi di sisi. Lengang, di antara tawa renyah penikmat senja lainnya.

Tapi benarkah heningku sepi? Sepi karena tidak ada riuh keramaian, tidak ada sorakan, tidak ada pengobar api semangat, tidak ada gelak tawa nyata di depan mata, dan tidak ada degup jantung yang menandakann jatuh cinta. Benarkah sesepi itu? Tidak. Heningku tidak berarti sepi dan tidak selalu sepi karena mereka yang di sekelilingku, ya... mereka semesta bernyawa. Mereka hidup untuk mengisi perjalananku, perjalanan yang mungkin akan terasa sangat singkat.


Share:
Read More

Ini Pagi


Pagi selalu menjadi sebuah awal. Awal untuk membuat cerita baru. Aku selalu menyukainya. Pagi seperti pengampunan maaf, pengampunan atas dosa kemarin. Betapa tidak, jika kita masih diberi hidup saat setelah kita melakukan kelalaian-kelalaian, dosa-dosa, dan kesalahan-kesalahan di hari yang telah lalu.


Menghirup udara pagi selalu membuatku tidak berhenti-hentinya bersyukur atas sebuah nikmat kehidupan. Merasakan betapa besarnya nikmat Tuhan.

Pagi dan apa yang ada di sekelilingnya memberi ruangan tidak terbatas untuk bermimpi. Untuk menata asa yang kemarin sempat terpatahkan, karena terjatuh dalam sebuah pengharapan.

Kesederhanaan pagi di udara lembutnya, di satu-dua tetesan embunya dan di seberkas cahayanya mengisyaratkan untuk selalu hidup dengan apa adanya. Nyaman menjadi seseorang yang memiliki diri sendiri. Mencintai apa yang kita punya, dan bersabar untuk apa yang kita ingini.

Sekali pun pagi mendung, membuat lebih nyaman berada di balik selimut dan mengesankan  sebuah kemalasan. Tapi pagi tetaplah pagi dengan selalu membawa dunia baru. Dunia yang harus dijadikan berbeda dari hari sebelumnya. Perlahan berjalan dan perlahan naik ketingkatan yang lebih baik. Tidak usah terburu-buru cukup dengan menikmati detik demi detik perubahan itu. Menjadikannya sebuah perjalanan dengan arti yang besar.
Share:
Read More

Kepercayaan

Okehhhh. Dari sejak tadi saya sudah menatap layar putih kosong ini. Sempat terisi oleh beberapa kalimat dan barisan kata, namun tidak jelas. Dan saya menulis tanpa menyelesaikannya. Ya... Saya sedang tidak mengerti tentang perasaan saya, sangat tidak jelas akhir-akhir ini. Bahkan kadang uring-uringan.

Kemarin saya mendapatkan sebuah pesan singkat dari dia yang sering hilir mudik di pikiran saya. Padahal hampir saja saya terbiasa dengan ke tidak hadiran dia, tapi ternyata saya tetap tidak bisa. Dia terlalu banyak membawa bagian dari diri saya.

Dia mengatakan sesuatu yang pernah kami perbincangkan sebelumnya tentang komitmen dan prinsip. Sebetulnya tidak sejauh itu, hanya saja saya yang mempercayai kalau itu adalah komitmen dan prinsip dia. Dan dia telah melakukan hal yang di luar dari perinsipnya itu, karena demi rasa sayang dan cinta. Jujur saya sangat kecewa. Lutut saya lemas saat membaca pesan singkat dari dia. Tapi saya tidak berhak untuk marah atau sejenisnya, itu jelas bukan kapasitas saya.

Dan kemarin juga saat di perjalanan pulang Mbak Meg memperbincangkan hal yang serupa. Namun ini tentang sahabat kami. Rasanya sakit mendengar hal semacam itu, apalagi jika terjadi kepada orang-orang terdekat kita dan kita sayangi. Topik-topik seperti itu memang saya hindari. Saya tidak menyukainya, saya merasa takut.

Mungkin saya terlalu menaruh sebuah kepercayaan besar kepada orang-orang yang berada di dekat saya. Seperti sebuah pertaruhan, nilainya tidak hanya 50-50, mungkin saya hanya menyisakan 10 dari 100. Bukan karena saya tidak mengira mereka akan melakukan kesalahan. Tapi itu seperti sebuah hal yang wajib saya berikan kepada mereka. Menandai  mereka sangat berarti di hidup saya. Saya akan menutup mata dari apa yang orang-orang bicarakan tentang mereka. Karena saya percaya dan melihat jelas seperti apa sebenarnya mereka. Meski mungkin mereka tidak selalu menunjukan semua hal tentang diri mereka di hadapan saya. Tapi saya sangat percaya dengan apa yang mereka tunjukan di hadapan saya.

Dan mungkin itulah sebabnya saya sering kali merasa kecewa. Karena rasa terlalu percaya itu tadi. Saya merasa kecewa saat kepercayaan-kepercayaan yang saya berikan tergores. Dan bukankah kecewa ada karena merasa di khianati? Ya, mungkin benar. Tapi saya tidak pernah merasa seperti itu. Dan menyesal atas kepercayaan yang telah saya berikan, itu pun tidak sama sekali. Karena saya lebih menghargai apa yang telah mereka tunjukan kepada saya. Apa yang telah mereka bagi dengan saya. Dan memberi ruang yang cukup berati untuk saya di hidup mereka. Bukan kah dengan seperti itu mereka juga mempercayai saya.

Dan untuk orang-orang yang belum mempercayai saya, dan belum mau membagi serpiah-serpiah kisahnya dengan saya. Itu pun tidak maslah. Karena rasa percaya yang saya berikan kepada mereka sudah menunjukan betapa saya menyayangi mereka. Namun saya menyesal saat harus menyaksikan ada sebuah perubahaan keakraban yang terjadi, saat dia terlalu menyadari diri. Padahal tidak harus seperti itu bukan?

Dan satu hal. "Mereka melakukan hal itu karena mereka sudah siap untuk sebuah tanggungjawab dan resiko". Itu yang Mbak Meg bilang. Dan itu yang membuat saya yakin kalau mereka akan selalu baik-baik saja. Saya hanya bisa mendoakan saja yang terbaiklah yang akan terjadi pada mereka.
Share:
Read More

Mau Untuk Menjadi Gila


Kali ini soal Mbak Mega. Ini tentang ketidak mengertian dan keheranan saya tetang apa yang dia pikirkan. Sudah dua kali ini dia membahas soal “orang gila”. Ya… Betul Orang Gila.

Saya sering mendengar dia mengomentari orang gila yang kami temui di jalan. Dia juga pernah mengatakan kalau ketemu orang gila di pagi hari adalah suatu keberuntungan. Saya tahu itu bercanda, untuk satu hal itu saja. Saya kira, cuma sebatas itu saja. Tapi ternyata dia menanggapi serius. Saat membicarakan hal ini dia sangat antusia. Padahal ya. Saya sudah meperlihatkan muka malas dan sangat tidak tertarik. Malah kadang-kadang gemes dengan penuturannya. Baru kali ini dia membahas soal yang sangat konyol. Sangat.

Saya heran kenapa orang gila harus dipermasalahkan? Dan Mbak Mega juga mengatkan kalau gila itu adalah sebuah pilihan. Yang benar saja. Gila itu bukan pilihan bagi orang waras (berakal). Bukankah itu sama saja dengan menyerah akan hidup atau kasarnya bunuh diri.

Masih dalam acara perdebatan, tadi saya bertanya pada Mbak Mega dan dapat satu jawaban, satu point. Kalau dia “mau untuk jadi gila”. Itu sudah. Dan saya menegrti kenapa dari sejak kapan tahun dia perduli sekali dengan orang gila, sampai mungkin dia hapal semua orang gila yang ada di sini. Dan untung saja dia tidak punya niatan untuk mengajak salah satu dari mereka pulang ke rumah. Tapi untuk alasan kenapa dia “mau untuk jadi orang gila” itu masih tanda tanya. Biar nanti kalau mood saya sudah kembali normal, saya tanyakan kepada dia. So, to be continued.
Share:
Read More

Sedikit Menata Waktu


Hari ini Senin, 12 11 12. Tidak ada sesuatu yang menarik. Tidak ada kejadian yang penting. Hanya angkanya saja yang cantik. Terus ada sedikit pikiran yang semakin terasa menyudut, terkesan menampar secara perlahan. Tidak sakit karena ia perlahan. Namun itu merupakan tamparan karena melahirkan sebuah kesadaran.

Ternyata:

Aku terlalu disibukan dengan diri sendiri.
Aku terlalu asik menyelami rasa.
Aku mencampurkan segala urusan dalam satu wadah.
Aku hanya berfokus pada satu kehidupan saja, yaitu cinta.
Aku hidup di dua dunia yaitu alam nyata dan maya. Menjadikan kakiku tak selalu berpijak pada apa yang disebut tanah.
Aku terlalu pengecut menantang hari.
Aku terlalu pengecut untuk percaya akan diri sendiri.

Dan saat ini sudah sewajarnya jika aku mulai menyakini diri. Menapak dengan pasti. Tanpa harus dibuahi kata mungkin. Harus mulai memfokuskan diri pada apa yang kini di jalani. Memprioritaskan apa yang menjadi tanggungjawab saat ini. Kepada mereka yang telah memberi hidup. Tuhan tentunya, orang tua, dan pekerjaan.

Harus mulai membiasakan diri mengatur pikiran, mengatur perasaan, meredam gejolak muda, dan mengatur waktu. Mulai memilah dan memilih mana yang wajib dan sunah. Mana yang primer dan sekunder. Mana yang penting dan kurang penting.

Sudah seharusnya merasa cukup bermain dengan waktu. Jangan sia-siakan dia lagi dengan ketidak teraturan. 20 dirasa sudah cukup memberi pengertian.

Semangat untuk hari esok yang lebih maju! (itu kutipan) Hehe.

Share:
Read More
,

Maaf, Mam!


Tadi pagi Mamah telepon. Pagi-pagi sekali. Tumben sekali pikirku. Tapi karena masih pagi dan saya baru selesai mandi, belum ganti baju atau apa pun. Maka saya potong pembicaraannya. Minta dia untuk menelepon lagi nanti saat saya sudah di kantor.

Sudah 3 minggu saya tidak pulang ke rumah, padahal dulu hampir tiap minggu saya pulang. Karena jarak dari rumah ke tempat saya sekarang tinggal hanya menempuh 1 jam perjalanan saja. Kecepatan perempuan. Malah pernah 1 minggu 2 kali. Sekarang lebih sering 1 bulan sekali. Semenjak saya meminta untuk tugas di luar jawa kepada Mamah, namun Mamah tidak mengizinkan. Saya jadi lebih sering menghabiskan liburan di mess, tanpa pulang ke rumah. Selain karena libur yang cuma 1 hari seminggu dan merasa capek kalau harus bolak-balik, saya juga agak kesal dengan beliau.

Saya sedikit paham tentang kekhawatiran beliau. Kalau saya masih terlalu muda untuk di lepaskan pergi. Saya masih terlalu lugu untuk mencicipi kerasnya dunia luar. Saya tahu itu. Dan karena saya seorang anak perempuan satu-satunya yang beliau miliki. Semata wayang. Beliau kekeh tidak mau ditinggalkan. Beliau pernah mengatakan saya lah satu-satunya penghibur baginya. Tentu saja, karena Mamah  tidak memiliki seorang suami. Bukan saya tidak memiliki ayah. Tapi orang tua saya sudah berpisah semenjak usia saya 10 tahun, masih duduk di kelas 4 SD waktu itu. Peristiwa yang sangat membekas sampai detik ini. Mamah pernah mencoba membina rumah tangga 2 kali dengan orang yang berbeda setelah dengan ayah saya. Tapi cuma bertahan 1,5 tahunan berasama keduanya. Dan kini Mamah memilih untuk sendiri. Lebih bebas katanya.

Ya... Saya mengerti Mamah kesepian, tapi bukankah sama saja dengan saya di sini sekarang. Toh kami tidak tinggal dalam 1 atap lagi. Mamah di rumah, dan saya di tempat kerja. Dan itulah alasannya kenapa jadwal pulang saya di kurangi. Agar Mamah dan saya bisa belajar hidup berjarak. Bukannya kami tidak pernah seperti itu. Bahkan kami sudah mencobanya selama 10 tahun lalu. Semenjak perpisahan orang tua saya, saya tidak tinggal lagi dengan Mamah. Saya memilih untuk tinggal bersama nenek saya, nenek dari Mamah. Karena saya tidak mau ikut dengan suami dari Mamah, selain itu saya juga harus bersekolah. Dan jarak rumah Mamah dari sekolah tidak memungkinkan saya untuk bisa tinggal di sana. Mungkin, Mamah juga rindu bisa tinggal berasama dengan saya lagi. Bukan saya tidak rindu, tapi saya lebih sering mengabaikannya. Waktu 10 tahun sudah cukup membuat saya belajar tanpa beliau di samping saya.

Namun kemarin-kemarin ini saya sangat ingin pulang. Sampai tadi pagi, saat baru bangun tidur saya berceletuk ingin pulang kepada Mbak Meg. Dan telepon dari Mamah tadi pagi di kantor, meyakinkan saya kalau saya harus pulang. Ternyata beliau sakit dan harus di periksa. Sepertinya maagnya kambuh lagi, beliau sampai tidak bisa berjalan.

Saya baru mengerti sekarang. Bagaimana kalau nanti jarak tidak memungkinkan saya untuk bisa pulang ke rumah dengan hanya sekali telepon saja. Saya sekarang mengerti tentang ketakutannya. Dan saya sadar, kalau saya lebih sering mengabaikannya. Mengatakan akan pulang minggu ini, tapi malah pulang minggu berikutnya atau berikutnya lagi. Tapi saya tidak pernah meminta maaf kepada beliau. Saya mungkin malu, karena terlalu sering. Atau karena kami tidak sedekat itu untuk bicara hati ke hati. Rasanya mengatakan kalau saya menyayanginya pun masih bisa dihitung dengan jari. Karena kami memang tidak pernah sedekat itu. Saya selalu menghindar untuk berbicara hati ke hati dengan beliau. Ada sedikit kecewa yang mengganjal. Dan saya tidak mau kekecewaan itu terkuak dan menyakiti beliau. Tapi setidaknya telepati ibu dan anak di antara kami masih ada. Saya bersyukur untuk itu.

"Dan maaf atas jarak yang selalu aku ciptakan, Mam. Maaf."




Share:
Read More
, ,

Hanya Tentang Cerita

Ini bukan tentang kita tapi tentang cerita. Karena aku dan kamu tidak lagi kita.

Tadi pagi saat sedang di kantor ada sms masuk ke nomor baruku. Dan sepertinya itu dari pacarmu, nomornya sama dengan yang kamu gunakan dahulu. Tidak bernama di handphone-ku, tapi aku masih begitu hafal nomor itu. Nomor yang dulu selalu aku hubungi setiap detiknya.


Dia bertanya siapa aku, dengan masih seperti biasa menggunakan tutur bahsanya yang kurang mengenakan. Awalnya mau aku balas, tapi setelah dipikir-pikir mungkin akan jadi panjang urusanya kalau aku melakukan hal itu. Maka aku simpan lagi handphone-ku dan kembali fokus kerja.

Karena kejadian itu aku teringat akan dirimu. Waktu jam istirahat aku menyempatkan membuka facebook dan mencari nama pacarmu, bukan namamu. Karena namamu sudah tidak dapat aku temukan. Mungkin ada seseorang yang telah mem-block namaku dari akun facebook-mu, tapi aku yakin itu bukan kamu. Di sana aku menemukan gambar mungilmu dengan senyuman manis yang sama, dan satu cokocip di pinggir bibirmu. Kamu tahu, ternyata ada yang masih bergetar di sini. Di dadaku.

Aku membayangkan bagaimana jika kita bertemu kelak. Aku merasa sepertinya detakan di dadaku tak akan berdetak lagi dengan irama normal. Aku masih ingat terakhir kita bertemu, aku tidak mau lepas dari matamu. Kamu tahu kenapa? Karena aku mencari sesuatu di sana. Masih berharap menemukan rasa yang sama seperti dulu.

***

Apa kalian berpikir kalau aku terlihat seperti masih mencintai si Kamu, atau mengahrapkannya? Hahaha. Sepetinya begitu. Tapi tenanglah aku tidak lagi melakukan hal itu.Aku hanya sedang mengenangnya. Caraku memang seperti itu untuk mengingat seseorang.

Aku tidak sedang hidup dalam kenangan, tapi merekalah yang hidup dalam diriku. Mereka bagai sebuah tayangan sinetron striping yang terus-menerus tayang, bermunculan dengan tiba-tiba. Kadang-kadang. Dan di undnag secara sengaja. Kadang-kadang juga.

Aku bersyukur memiliki mereka. Mengingat mereka selalu membuatku tersenyum, bukan karena aku tidak pernah menangis atau merasa sakit. Tapi mereka terlalu berharga untuk aku sesali dan aku ratapi. Mereka telah menjadikanku bagian dari dunia, menjadikanku bagian dari dewasa, dan menjadikanku bagian dari masa. Karena itu tidaklah selalu menjadi tugas waktu.
Share:
Read More
, ,

Mendekap Kenangan

Andai bisa kujaga setiap inci rasa. Mungkin aku tidak akan mendekap kenangan saat ini. Mungkin kamu juga tahu aku mengakhirinya bukan karena rasa yang ada telah sirna tiada. Tapi karena aku memang lah seorang pengecut yang tidak berani mencinta. Aku sang pengecut yang tidak percaya akan rasa. Perubahannya terlalu menakutkan untuk diselami dan diyakini.

Aku menyesal? Aku rasa mungkin iya di awal. Tapi kini aku mengerti, kamu memang bukan untuk kugenggam. Dan kini, aku melihat kamu bahagia dengannya. Dan itu lebih dari cukup untuk menyirnakan rasa sesal yang ada. 

Dan kamu adalah salah satu bagian terpenting dari masa laluku. Kenangan yang mungkin ada untuk disebut terindah. Bagaimana tidak jika jemarimu yang mengalirkan getaran itu pertama kali. Membuatku merasakan desiran rasa. Membuatku menangis, karena tidak ingin melepas genggaman tanganmu terlalu cepat.


Teras kosan, bangku di teras itu, tukang nasi goreng adalah saksi sederhana atas cinta kita. Cinta yang tumbuh begitu cepat dalam waktu 10 hari. Di kalender hapeku saja aku tandai dengan memo “10DaysTheBest”, agar kelak aku tidak lupa bahwa itu adalah hari-hari bersejarah bagi kita.

Alun-alun kota, Bioskop, dan Dago Pakar juga ada di barisan tempat bersejarah untuk kita. Dan di gunung itu kita terjebak dalam rinai hujan. Kamu ingat? Waktu di jalanan sepi, kita melihat ada sepasang kekasih sedang hendak berciuman. Kita malah saling tatap dan segera berlalu, menahan gelak tawa yang hampir siap membuncah. Aku mencubitmu gara-gara tawamu mulai akan terdengar. Hahaha. Menyenangkannya saat itu. Bisa melihat tawa lepasmu.

Dan bau harum parfummu, itu yang paling kuingat. Bau harum yang menempel di jaketmu yang aku pakai. Hingga malam menjelang pun, dan kantuk kian tidak tertahan aku masih mendekap jaketmu. Tidur dengan menciumi baumu. Nyaman rasanya.

Andai satu-dua perbincangan bisa kita mulai, mungkin kita akan cocok jadi sahabat baik.
Share:
Read More