mari membahas hal-hal kecil dan masa kini

Kopi, Sajak dan Jalanan Ibukota

Di sebuah pagi yang buta perjalanan yang panjang sudah tercium berbaur dengan wangi aroma embun. Bermula dengan berjalan menyusuri gang-gang tempat hilir mudiknya para tikus, kemudian pada pinggir-pinggir toko yang becek dengan sampah plastik berserakan, ia memulai harinya.

Memilah dan memilih mana kedai kopi yang seukuran dengan 2 lembar lima ribuan yang kusam dan lusuh dipojok kantung kemejanya, dan paling tidak sedikit asri dan nyaman. Baginya tempat seperti itu dengan secangkir kopi sudah lebih dari cukup memberinya kesempurnaan pagi. Karena jalanan ibukota memberikannya energi pada setiap sudut yang ia pandangi.

Ia bukan pengamen yang menenteng sebuah gitar atau kecrek, atau pengemis dengan gelas plastik aquanya, atau ia wanita yang berdandanan menor dengan baju dan rok yang setengah jadi, bukan seperti itu. Ia hanya seorang pecinta sastra yang senang bersajak dan senang mengelilingi ibukota, dan ia hanya membawa beberapa lembar kertas lusuh berisikan tulisan-tulisan yang ia tulis dengan tangannya sendiri pada malam-malam yang selalu panjang. Berteriak lantang mendendangkan isi hatinya. Kemurkaannya pada matahari, pada awan, pada mendung yang tak segera gugur, dan pada debu-debu yang mengotori kulit dan pakaiannya.

Ia senang pagi ini karena ia bisa bangun dalam pagi buta. Dipilihnya tempat duduk paling pojok yang bersebelahan dengan jendela. Jendela adalah bonus pagi yang luar biasa baginya. Ia bisa melihat dunia lewat sana. Dunia yang selalu tampak berbeda.

Tak seberapa lama setelah ia meneguk kopi yang berada di atas mejanya, ia mencium wewangian yang merusak jaringan di persendiannya. Melemaskannya dan menerjunkannya jatuh kembali pada ingatan lalu. Ryan. Bisiknya pada Tuhan.

Lelaki itu yang mengalirkan nyeri pada wangi aroma tubuhnya duduk tepat di depan mejanya. Ah... Ternyata bukan. Tentu saja bukan, karena Ryan berpendapat hidup bersama Tuhan dalam waktu kapanpun adalah sebuah pilihan, dan ia mempasrahkan diri pada batu karang menjulang dengan ombak yang berdebur kencang. "Lelah" Ryan selalu berkata.

Lelaki itu menatapnya tak berkedip. Risi diperlakukan seperti itu ia memalingkan wajahnya, dan berniat segera bergegas. Namun lelaki itu mendekat, ia menoleh dan menemukan senyuman yang begitu tak asing di wajah lelaki itu. Oh Tuhan... Ia merapihkan kertas-kertasnya dan segera bangkit dari tempat duduknya.

"Tunggu Nona!" Lelaki itu bersuara dengan sangat nyaman terdengar di telinga.

Ia hanya tersenyum dan tak berniat sama sekali untuk duduk kembali.

"Nona, ini masih terlalu pagi untuk membisingi Ibukota, tak ada yang akan mendengar, mereka masih tertidur." Tambah lelaki itu, membuat ia berpikir untuk mengurungkan niatnya.

"Duduklah sebentar dan ceritakan kepadaku tentang Ibukota dalam kertas-kertas lusuhmu." Ujar lelaki itu setelah melihat ia ragu untuk melanjutkan langkah kakinya.

"Oh ya, saya Angga." Lelaki yang berada di depannya itu menyodorkan tangannya.
"Saya hanya gadis yang berpakaian dekil dan hanya kertas-kertas ini yang saya punya." Ia menimpali dengan menundukan wajahnya, tanpa menjabat tangan Angga.

"Oke." Angga menurunkan tanggannya dengan yakin. "Saya sudah sering melihat Anda di tempat ramai dan bus-bus dengan kertas-kertas itu. Namun yang saya heran adalah kenapa di setiap harinya apa yang berada di kertas lusuhmu itu berbeda?" Lanjutnya.

"Itu bukan urusanmu."

"Ya memang, tapi bukannya tidak apa-apa jika sedikit berbagi dengan seorang teman?"

"Saya bukan teman Anda. Permisi." Akhirnya ia benar-benar memutuskan akan pergi karena muak dengan sikap sok kenal yang ditunjukan lelaki itu.

"Tunggu sebentar, Nona!" Angga menggenggam pergelangan tangannya. "Jika saya belum menjadi teman Anda, bolehkah jika saya memulainya semenjak saat ini?"

Ia melepaskan genggaman Angga dan menatap lelaki itu beberapa saat. Kemudia pergi dengan segera. Membawa sedikit heran akan degup dijantungnya yang sedikit berlebih.
Share:
Read More

Balikpapan: 1st Day



Selamat Malam,

Apa kabar? Saya baru saja menjejakan kaki di tanah asing (lagi).

Tanah ini tanah yang di penuhi orang-orang berpakaian necis. Satu jejak lagi. Terisi lagi lembar-lembar pada buku agenda. Semoga, selalu akan ada do'a dan pengharapan di dalamnya--ada yang di dapat sebuah pelajaran barang kali atau sebuah kenangan indah berbagi.

"Selamat datang..." Adalah kata yang paling saya senangi. Berkunjung ketempat baru, atau berbaur di dalamnya untuk beberapa waktu adalah satu hal yang berharga dalam sebuah perjalanan. Itu merupakan sebuah lini masa kehidupan, yang mungkin saja di kemudian hari akan di buka dan di baca oleh orang-orang setelah kita.

"Selamat menikmati tanggungjawab anda."

Salam,
Dewi
Share:
Read More

Senja, Rintik Gerimis dalam Kaca Jendela


Selamat sore, Selamat menikmati senja.

Kali ini benar-benar membutuhkan aroma kopi. Senja menawan dengan rintik gerimis yang tersangkut pada kaca jendela. Hiruk-pikuk yang tak terjangkau oleh telinga. Menjadikan saat ini begitu menyenangkan.

Bersenandung kerinduan, bersenandung nyanyian kesepian. Tak pernah merasa keberatan, karena setiap hal selalu penuh dengan kebermaknaan.

Oh, aroma tanah basah tanah Pangandaran. Ku yakin ini adalah bagian dari ingatan yang tak akan pernah bisa kulupa. Jejaku pertama kali di sini, tempatku berlajar merangkak. Esoknya aku belajar berjalan, dan kemudin belajar lagi dan ingin lagi.

Tempatku menemui dunia luar pertama kalinya. Begitu pula dengan menatap wajah selain ibuku beseta wajahku sendiri dalam kaca. Berkenalan dengan beberapa orang seberang yang bercakap dengan bahasa yang kadang membuat kepalaku tak bergerak. Kaku-terpaku.

Inilah senja dengan warna jingga sejuta cerita.

Salam,
Dewi

Share:
Read More

Akhir November (Senja dan Hujan) 2013.

Sore yang tak pernah berbeda lagi. Selain bertemu dengan sepetak ruangan yang dipenuhi tumpukan kertas beserta canda-tawa orang-orang yang mencari kesenangan sesaat, perusak gundah.

Sudah lebih dari 1 bulan kah blog ini tak pernah lagi di sentuh? Entahlah bahkan saya lupa terakhir kali memasukinya (berada di sini, di depan layar kosong dengan imajinasi yang entah berlayar ke mana). Ya, kurasa semenjak sore yang tak pernrah berbeda lagi saya belum ingin lagi berbagi.

Kini di ujung November, saat wangi tanah basah kembali tercium setiap saat. Ingin rasanya ada yang bisa saya ceritakan. Meski sedikit. Sekedar untuk menandakan kalau blog ini masih berpemilik.

Selamat Sore,

Pada senja yang di warnai awan abu, di penuhi oleh aroma tanah basah. Setumpuk harap itu sudah diterbangkan kembali, agar patah yang kemarin itu segera akan terlupa. Biar saja itu menjadi sebuah yang sesaat. Hanya relakan.

Akan ada lagi jejak kaki di negeri sebrang. Seperti satu tahun yang lalu. Namun, kinipun ada yang tak bisa dituju lagi. Seperti linglung atau bingung menempatkan hal itu di mana.

Berputar-putar sebelum akhirnya melangkah. Atau putaran itu sengaja di buat oleh sang empunya sampai ia lelah dan limbung. Kembali menunggu atau mencari? Kedua hal yang sangat membosankan sekali.

Ingin berhenti dan menonton. Namun bijak tak sekedar kata yang bermakna. Ia begitu sulit untuk dipelajari. Mungkin berada di dalamnya dan mengalaminya akan membuat beberapa hal tentang bijak bisa cepat dimengerti. Namun, ketika telah menyerah memasukinya dan ingin berhenti. Seakan segalanya tak bergerak, terjebak pada satu tempat saja.

Ada yang bisa dimengerti dari percakapan di atas?
Karena saya hanya menulis, sekedar bercerita. Suka-suka.



Pnd, 25 Nov 2013
Share:
Read More
,

BUKU: PENJUAL KENANGAN

Biasanya saya senang berbasa-basi ketika menulis, karena sebtulnya di dunia nyata saya kurang begitu bisa berbasa-basi, jika saya melakukannya di dunia nyata maka akan berujung pada sebuah hal yang konyol atau bagi sebagian orang mungkin memalukan. Tapi tak apa, karena begitulah saya. Jadi untuk kali ini semoga saja ini bukan basa-basi yang panjang.

BUKU: PENJUAL KENANGAN
Oleh: Widyawati Oktavia


Saya mempunyai buku ini semenjak akhir bulan Maret 2013. Sejak pertama membacaya saya sudah sangat ingin menuliskan kesan-kesan yang saya dapat ketika membaca buku ini. Namun, entah kenapa selalu saja tidak berhasil.

Sebetulnya sekarang pun saya bukan akan membagi perasaan apa yang saya rasakan ketika membaca buku ini. Karena perasaan yang ditimbulkan buku ini beragam. Namun, ketenangan yang didapat ketika membaca buku ini tidak pernah absen.

Saya hanya ingin mebagi beberapa kalimat yang sudah membuat saya jatuh cinta. (Ini pun belum semuanya).

Silahkan:

"Bagiku, kepergian tidak pernah menyimpan kehilangan, Rayina. Tak pernah ada. Kepergian hanya menyimpan langkah bersamanya. Dan, memang selalu begitu. Aku bukan peminat kehilangan." - Dalam Harap Bintang Pagi

"Aku terkadang ingat saat-saat bercerita denganmu. Di perjalanan ini, terlalu sepi, Rayina. Terkadang, aku rindu percakapan kita di antara hujan." - Dalam Harap Bintang Pagi

"Kemarin, Rayina mencarimu. Mengikuti garis yang digoreskan takdir untuknya. Tak bersilangkah takdirmu dengan takdirnya, Petualang?" - Dalam Harap Bintang Pagi

"..., kita tetap tak pernah ingin membuangnya karena kita tahu suatu hari akan datang orang yang  mau menukarnya dengan harapan." - Penjual Kenangan

" Aku telah lama tidak lagi mencintai hujan, Seruni. Aku telah lama membiarkannya hujan jatuh begitu saja dan membiarkannya kembali lagi ke laut." - Menjelma Hujan

Sebegitu dulu. Karena saya belum sempat menggaris bawahi kalimat-kalimat di judul yang lain.

pnd, 19102013
Share:
Read More
,

Sampai Jumpa di Masa Depan

Hampir senja di lepas lapangan luas tempat para truk terbang berlarian. Mengingatnya dalam balutan tanda tanya yang tak hendak usai, membuat senyumku merekah sesaat demi sesaat. Bertemu dengannya tak pernah jadi hal yang menarik namun mengingatnya memang selalu menjadi waktu yang khusus.

Aku bertanya jika kelak, kelak di suatu saat yang nanti. Akankah ini masih akan mengikatku dalam ingatan? Ini begitu menyenangkan, ketika masih bermain dengan entah.

Tuan itu, hendak kah dia tahu? Sepasang mata sering memerhatikan senyumnya. Obrolannya yang kadang-kadang kaku, namun kadang-kadang membawaku ke alam yang entah--jauh berada di luar sana. Berada di atas langit mungkin, berada dekat dengan bintang.

Apa kabar masa depanmu, Tuan? Kadang ingin aku mengetahuinya, sepasang mata yang telah menenggelamkanmu dalam gila. Mungkinkah kau bertanya juga tentang masa depanku? Ah, tapi jangan Tuan. Karena aku hanya akan seperti biasa tergagap tak berjawab. Maka aku selalu kalah dengan telak. Namun, kita tetap saja akan tertawa dengan renyah. Menyenangkan.

Semoga akan lebih banyak cerita yang menyenangkan di kelak nanti ya, Tuan. Sampai jumpa di masa depan. (Seperti tak akan bertemu lagi pada esok sabtu, minggu, senin dan hari selanjutnya bukan? Hahaha).

Tapi maaf Tuan, aku hanya sedang tak menyenangi saat-saat ini yang terasa tak bergerak. Maka, sekali lagi kuucapkan.

"Sampai jumpa di masa depan."




nsw, 04102013
Share:
Read More
,

Kecintaan & Cita-Cita


Saat ini pada pukul 5 sore, dengan pencahayaan yang remang saya membuka kembali draft-draft yang berada di blog ini. Jumlahnya ada 19 ternyata. Berisikan tulisan-tulisan saya yang  tak juga saya rampungkan. Saya membukanya satu persatu untuk supaya saya dapat melanjutkannya. Tapi seperti biasa, saya tak dapat lagi merasakan hal yang sama dengan pada saat saya menuliskan draft-draft itu dahulu. Sebetulnya saya hanya ingin menulis saja. Tak harus tentang kisah cinta, tak harus tentang berbait-bait puisi, tak perlu karena saya hanya ingin menulis. Betapa rindunya saya melakukan hal ini.

Mungkin saya akan sedikit berkelit dengan mengatakan bahwa saya sedang melakoni pekerjaan baru, yaitu sebagai seorang Planner. Sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Semenjak saya sekolah dan mengerti dengan yang namanya cita-cita tak terpikirkan sedikitpun saya akan bergelut dengan tektek-bengek yang namanya pesawat.

Ketika saya bersekolah dasar saya membayangkan bahwa menjadi seorang guru itu menyenangkan. Kemudian di Sekolah Menengah Pertama saya masih membayangkan menjadi seorang guru itu menyenangkan, dengan lebih spesifikasi saya menambahkan embel-embel guru olah raga. Kemudian saya melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan, saya mulai memikirkan hal lain. Saya termasuk dalam salah satu orang yang sangat menyukai olah raga. Dan kemudian dipertemukan dengan bola basket. Hingga kemudian saya memutuskan bahwa saya harus menggantungkan cita-cita sebagai pemain timnas bole basket putri di langit. Namun, bersamaan dengan itu pun saya sangat menyukai jurusan yang saya ambil yaitu Tehnik Komputer dan Jaringan. Saya mulai menyukai tehnik, membetulkan hal-hal yang sulit untuk dibetulkan. Saya mulai menyukai rantai-rantai dari rumus jaringan. Dan saya mulai memikirkan sebuah cita-cita baru menjadi ahli IT.

Saya menyelesaikan sekolah menengah kejuruan saya dengan mendapatkan gelar lulusan terbaik. Wow, sebuah penghargaan yang tak pernah saya duga. Karena saya merasa saya tidak lebih baik dari teman-teman saya, dan saya pun selama tiga tahun berada di sekolah tersebut selalu menjadi peringkat ke dua. Tapi, saya tak mungkin memungkiri bonus dari Tuhan yang satu ini (yang lainnya pun tak pernah sebetulnya). Sebuah hasil dari kecintaan dan kerja keras. Karena jujur waktu melakukan ujian praktek pada akhir semester 6 saya hampir menangis. Waktu itu peralatan yang saya dapatkan beberapa ada yang tidak berfungsi dengan baik. Sehingga mengharuskan saya menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan ujian praktek saya. Namun, saya berhasil menyelesaikannya dengan waktu yang tidak mengecewakan. Syukurlah.

Perjalanan persekolahan saya selesai. Saya tak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi karena terbentur masalah biaya. Saya menerima itu, meski pada awalnya saya bersikeras untuk mendapatkan beasiswa di beberapa perguruan tinggi. Namun tak ada hasil, karena mungkin saat itu masih belum saatnya dan bukan takdir saya berada di sana.

Beberapa bulan setelah saya gagal mendapatkan beasiswa saya melamar ke sebuah perusahaan Ketenagakerjaan yang akan disalurkan ke perusahaan Penerbangan atau Perikanan. Perusahaan tersebut memiliki cabang hampir di seluruh penjuru Indonesia. Tapi perusahaan tersebut berpusat di daerah saya. Yap, di Pangandaran ini. Entah itu suatu keberuntungan atau bukan tapi saya di tempatkan di sini. Dekat dengan rumah. Ibu saya menyambut kabar itu dengan kegembiran. Karena saya adalah anak satu-satunya beliau, gadis pula. Dia khawatir kalau saya harus ke luar dari pulau jawa. Karena dia merasa kalau saya masih terlalu muda untuk di lepaskan dan di biarkan hidup merantau.

Pada waktu pelatihan saya direncanakan akan berada di bagian tiketing. Namun, rencana berubah dikarena ada kekurangan karyawan di bagaian keuangan. Maka pada akhirnya saya ditempatkan di bagian keuangan sebagai administasi. Sebetulnya saya merasa cukup minder dan merasa akan kewalahan, karena saya tidak memiliki besik. Dan ini adalah pengalaman pertama saya bekerja. Tapi saya terselamatkan oleh atasan saya yang luar biasa sabarnya mengajarkan saya dan dengan sedikit kecintaan saya pada hitung-menghitung. 1 setengah tahun saya berada di posisi itu. Dan selama dalam posisi itu saya sempat ditugaskan ke luar Pulau Jawa tepatnya ke Kalimantan Timur. Cuma 1 bulan makanya Ibu saya mengijinkan saya pergi.

Kejenuhan mulai melada saya, dan iming-iming di daerah lain lebih menyenangkan dan sebuah pengalaman yang mencatakan sebuah sejarah di buku agenda saya. Saya mulai merencanakan untuk menandatangani kontrak berada di luar Pulau Jawa selama 1 tahun. Namun di detik-detik kepergian saya, saya mendapatkan sebuah tawaran yang sangar menggiurakan. Yaitu masuk ke Departement Maintenance. Masih sebagai admin tentunya.

Maka semenjak saat itu terjadi hal-hal yang luar biasa kepada saya. Hingga saya merasa bahwa hobi menulis saya bisa dikesampingkan. Namun, pada minggu-minggu dan hari-hari ini saya merasa bahwa kerinduan terhadapnya tak bisa ditoleransi lagi. Mungkin ini tak hanya tentang sebuah hobi tapi juga sebuah kecintaan.

Akan lebih baik jika saya menceritakan hal-hal luar biasa tersebut, benar? Tapi mungkin belum saatnya. Saya belum teruji dengan baik. Maka tunggulah sampai saya merasa layak berada di posisi saya sekarang ini. Hihihi (Sok Banget).

Tapi saya percaya satu hal: Tahapan yang akan saya lewati kali ini adalah satu hal yang akan merubah hidup saya.

Share:
Read More

Lebih Tak Cukup

"Agar segala desah berangsur melemah, agar segera lara berangsur lelah, agar amarah terselip di antara kata demi kata, agar segalanya segera akan terlupa."

Pagi itu saat pertama kali kumembuka pintu rumah, kulihat ada sebuah undangan tergeletak di depannya berisikan undangan buka bersama. Aku hanya mendesah, karena aku masih harus masuk kantor meski hari itu adalah hari terakhir berpuasa. Aku tak yakin bisa menghadirinya.

Aku masuk kantor dengan hati resah, ingin rasanya menghadiri buka bersama tersebut. Karena aku yakin akan ada teman-teman lamaku di sana dan tak hanya teman di sana pun akan dihadiri sahabat-sahabtku.

Untungnya ketika sore meniba tak ada pekerjaan yang mendesak harus aku selesaikan sehingga aku dapat segera pulang cepat. Karena sebelumnya aku tidak berjanji untuk datang, maka aku melajukan motorku dengan tergesah. Takut kalau mereka meninggalkanku duluan.

Pada akhirnya aku tiba juga di tempat acara. Aku menelepon sahabat yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri agar segera menghampiriku di pinggir jalan. Karena aku tak tahu letak mereka berkumpul di mana. Ia datang dengan sedikit kening berkerut.

"Kamu dateng juga?" Tanyanya tampak keheranan.
"Iya." Jawabku singkat.
"Oh... Di dalem ada Fikrijuga kok." Jelasnya.
"Hehhh?" Aku terkaget juga nama itu di sebutkan dan lututku serasa melemas sesaat. "Regina ada juga?" Tanyaku lagi. Pasti ada lah.
"Iya, ada juga." Jawabnya.
"Oh... Ya udah ayo cepat ke sana, takut keburu adzan."

Aku berjalan dengan hati gemetar. Kebetulan yang menyenangkan. Ketika ada rindu yang membeku berharap satu tatap dan satu sapa saja dapat mencairkannya dengan segera.

Saat pertama kali melihatnya kembali setelah 2 tahun lalu. Segalanya serasa terhenti, hanya hening yang berada di sana. Jabatan tangannya tak dingin namun tak juga hangat. Mata itu masih menatap dengan cara yang sama, bibir itu masih tersenyum dengan cara yang sama, hanya saja sepertinya wajahnya tampak memutih.

Waktu masih serasa terhenti ketika aku makan, ketika aku bercakap dengan kawan dan sahabat-sahabatku. Segalanya masih dengan hening. Ada pandangan yang aku curi dengan sengaja. Kamu masih sama.

Sesaat sebelum ia menjabat tanganku untuk kemudian pergi meninggalkan bayangan punggung yang semakin menjauh dan menghilang, angin masih meniupkan keheningan. Lantas tak kukira setelah jabatan itu terlepas guntur bergemuruh terasa begitu dekat. Kurasa hujan akan segera menderas.

Ada yang tak cukup, ada mata yang masih ingin menatapnya lama, ada cakap yang begitu banyak ingin terucap, kurasa secangkir kopi saja tak akan cukup menampung segala cerita. Rindu itu masih saja membeku dan kini semakin dingin merengkuh sekat-sekat di hatiku.

Tak ada yang mencair, di sana hanya ada ingin yang semakin. Mungkin 'tak usah' lebih baik, jika setelahnya ada ingin yang lebih dan lebih.
Share:
Read More
,

Life is...

Hidup kadang mungkin hanya tentang bagaimana kau menikmati secangkir kopi pada sore hari di sebuah pesisir pantai, dengan menuliskan beberapa kalimat dalam secarik kertas kosong menceritakan tentang hari-harimu di hari kemarin. Kau berada di tengah keramaian namun asing. Rikuh, kikuk namun tenang.

Atau mungkin ketika kau berada di antara tumpukan kertas-kertas truk terbang di sebuah ruangan yang pengap dan memedihkan mata, dengan diiringi musik yang bertemakan jaman dulu.

Atau mungkin ketika kau begitu merindukan secangkir kopi pada saat bulan ramadhan. Sehingga pada saat tanggal-tanggal merah meniba kau begitu kehausan dan menghabiskan dua cangkir kopi. Namun sesaat kemudian ada yang memarahimu karena sebetulnya itu tidak bagus untuk seseorang yang mengidap penyakit magg dan ditambah sedang menstruasi. Namun sejurus kemudian pun kau menyadari bahwa orang-orang di sekitarmu begitu perhatian dan peduli terhadapmu.

Atau mungkin hidup hanyalah saat di mana kau menikmatinya tanpa sibuk memikirkan cara bagaimana kau melakukannya. Seperti apa yang di katakan Albert Camus "You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of. You will never live if you're looking for the meaning of life."

Ah... Dan bagi saya hidup adalah tentang bagaimana hati dapat menerima dan bersyukur atas segala hal yang terjadi pada kita. Baik itu menyenangkan, menyedihkan, membahagiakan atau menyakitkan. Dan kita selalu dapat belajar di dalamnya.

- DS: Pada tempat penat yang berisikan tumpukan kertas-kertas. Kamis, 25 July 2013
Share:
Read More
,

Hanya Isyarat




Ciptaan: Dee Lestari
"... Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya dapat kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan."
Ku coba semua, segala caraKau membelakangikuKu nikmati bayangmuItulah saja cara yang bisaUntuk kumenghayatimuUntuk mencintaimu
Sesaat dunia jadi tiadaHanya diriku yang mengamatimuDan dirimu yang jauh di sanaKu tak kan bisa lindungi hatiJangan pernah kau tatapkan wajahmuBantulah aku semampumu
(Rasakanlah)Isyarat yang sanggup kau rasaTanpa perlu kau sentuh(Rasakanlah) Harapan, impian,Yang hidup hanya untuk sekejap(Rasakanlah) Langit, hujan,Detak, hangat nafasku
(Rasakanlah)Isyarat yang mampu kau tangkapTanpa perlu kuucap,(Rasakanlah) Air, udara,Bulan, bintangAngin, malam,Ruang, waktu, puisi
Itulah saja cara yang bisaUntuk menghayatimuUntuk mencintaimu
Lirik didapat dari...
Share:
Read More

Untuk Diri Saya Sendiri


Saya pernah membaca sebuah tulisan atau mungkin sebuah buku yang penulisnya menuliskan “Saya menulis untuk diri saya sendiri”. Dulu saat pertama kali membaca kalimat itu saya tak mengerti sebenarnya apa yang dimaksudkan oleh kalimat itu. Kemudian saya mendapatkan sebuah pendapat lagi bahwa menulis itu harus bisa mengubah pandangan atau pikiran orang lain baru bisa dibilang penulis yang hebat. Kemudian saya berpikir, kenapa kedua pendapat tersebut begitu sangat berbeda? Betapa mudahnya menulis untuk diri sendiri dan betapa sulitnya melahirkan sebuah tulisan yang bisa merubah pandangan seseorang atau pemikiran seseorang.

Namun keduanya tetap saja tak dapat dipahami jika tidak dengan hati. Baru kini saya melihat kedalam diri saya apa yang saya inginkan dan apa alasan saya selalu menulis. Dan saya menemukan satu jawaban bahwa itu semua untuk diri saya. Saya menulis bukan untuk dibilang pandai, bukan untuk mendapat pujian, simpati atau hal lain sebagainya, saya menulis hanya untuk diri saya. Membantu mempermudah segala. Tak ada yang lebih baik untuk mendengar dari pada Tuhan dan sebuah kertas kosong.

Saya merasa betapa menyenangkannya membaca apa yang telah saya tuliskan. Kadang-kadang merasa heran, apa betul tulisan itu berasal dari pikiran saya. Dan tulisan bagi saya adalah sebuah cerminan diri. Ketika secara tidak terduga kata-kata meluncur dengan tanpa sengaja, menyimpan beberapa kehilapan, beberapa kesalahan, mengalir dan mengalir terus menerus, menuangkan amarah, kesal, tangis, dan segala. Tempat memulihkan hati, tempat dimana setelahnya saya depat mengatakan bahwa saya baik-baik saja. Tempat berkumpulnya segala sesuatu yang berasal dari hati. Karena dengan begitu hati akan terasa nyaman dan damai kembali.


Kini saya tahu alasan saya menulis. Yaitu karena untuk diri saya sendiri.
Share:
Read More
, ,

Kisah Dengan Akhir yang Disegerakan

Sebuah kisah berawal dari sebuah pagi dan terhenti ketika senja meniba.

Pada rintik gerimis ada sebuah genggaman hangat yang dijanjikan. Genggaman yang meleburkan dingin dan sendiri dari setiap air yang jatuh.

Pada butiran pasir ada deraian tawa yang dijanjikan tanpa sebuah curiga. Namun, ada hal yang tak aku ketahui. Ada mata yang ditutupi dari hati yang menganga ingin dijamahi.

Pada deburan ombak dan tamparan angin di pesisir ada dua gelas kopi beserta satu buah kamaera digital. Mengabadikan momen sederhana yang kelak akan tertumpuk dan terlupa.

Tak ada yang bisa aku harap kan lebih, selain satu-dua tatap kelak yang saling mengenal dan merindu.

Masa itu adalah tempat di mana angin singgah, dan ia adalah burung yang mengikuti semilir angin. Dan aku mungkin bunga yang hanya menanti kedatangan sang pembawa sejuk, didatangi kemudian ditinggalkan. Kelak akan layu ketika semi beranjak.

Kemudian pada senja kutitipkan rindu yang dibawa matahari ke peraduan mimpi. Menyisakan bulan pucat pasi pada malam yang ditinggalkan hujan.

Sebuah masa yang hanya melahirkan satu-dua lembar kisah pada buku agenda yang segera akan usang.
Share:
Read More

Kota Kecilku

Pasar masih belum tertidur ketika jarum di arloji berada di antara angka 6 dan 7. Ini sudah petang. Bahkan pasar bisa saja terjaga sampai dengan nanti tengah malam.
Hujan rintik dengan genangan-genangan coklat yang mengisi jalanan.
Pedagang-pedagang dengan gerobak dorong terlihat bertebaran di emperan toko.

Inilah Pangandaranku,
Kota kecil dengan turis-turis di pesisir
Aroma dari udaranyalah yang senantiasa ku rindu
Senantiasa doa terselip untuk kota kecilku ini
Semoga saja tidak terenggut waktu yang memesat menjelajahi era teknologi
Tetap sederhana dengan ramah tamah yang mewarnai setiap sudutnya

Pasar Pangandaran, 17 Juni 2013
Share:
Read More
,

Sendiri

Ribuan gelak tawa
Ribuan binar mata bahagia
Ribuan pikiran yang berloncatan riang
Bertolak belakang dengan satu rasa yang meneteskan air mata
Ya, ku katakan itu benar adanya

Bintang di langit hanya bisa mendengar,
Tidak dapat berbicara
Awan mendung di langit hanya bisa menurunkan hujan,
Tidak dapat di mintai jawaban
Begitupun dengan angin yang hanya datang sebagai semilir
Datang sesaat kemudian beranjak pergi

Sejatinya tak ada yang sempurna dan abadi.

Pnd, 12062013

Share:
Read More
,

Bernyanyi Dalam dan Dengan Entah

Cintailah pagi jika kau ingini
Cintailah siang jika kau sukai
Cintailah malam jika kau cintai
Ya, cintailah apapun itu yang memang kau kehendaki

Jejak-jejak yang tak terhenti
Mengalun dengan indah, mungkin
Namun tak menyentuh hati

Entahlah...
Aku hanya ingin bernyanyi
Atau hanya berpuisi


Share:
Read More

New Place

Ada yang ingin dibicarakan
Tapi sejujurnya tidak
Ada yang ingin dituliskan
Tapi sejujurnya tidak

Mereka berbicara tanpa henti
Aku diam dalam bahasaku sendiri
Mereka tertawa dengan jenaka
Aku terpana dalam tawa terpaksa

Ah, dunia
Duniaku saat ini
Pembelajaran yang sangat berarti

Bahasaku tak mereka mengerti
Tawaku tak mereka pahami
Mereka kira di hadapan mereka aku berdiri
Padahal tidak
Aku sendiri
Dalam dunia gelapku sendiri
Share:
Read More

Layar Kosong

Layar kosong kembali jadi sesuatu yang menakutkan. Kepalaku buntu, terpaku dalam isi yang tak juga bergegas pergi. Tertahan pada ragu-ragu seperti dahulu. Aku ingin lari. Namun tetap saja terhenti.

Kepekaan intuisi tak tersirami sebaik kemarin. Ia terhenti, si Empunya sibuk pada hal baru yang menyita waktu, pikiran dan tenaganya. Jutaan aksara yang sempat bertaburan dan mencumbui sepipun enyah sudah. Mungkin ia lelah menggoda.

Semoga saja ia masih punya beberapa tenaga untuk menjamahi sepi. Semoga... Kurasa aku merindui saat-saat dimana lengang begitu nikmat dibicarai.

Pangandaran
Share:
Read More
,

Terima Saja

Adakah yang harus dipertanyakan?
Segalaya seraya membias--pucat pasi.
Sudahikah?
Bukan, ini bukan tentang terus atau berhenti.

"Tidak ada yang bermulai, maka tidak ada yang harus diakhiri."
Begitula kata orang. Begitulah kata hati.

Kenyataan selalu lebih pahit dari kopi.
Manisnya terserap oleh kesederhanaan rasa kecewa.

Aku tahu,
Sepantasnya tak layak untuk berkeluh
Begitupun mengaduh nyeri

Ini sederhana
Kekecewaan yang tak perlu dipertanyakan.
"Terima saja!"
Begitu bisik hati.

Share:
Read More
, ,

Buku: Rectoverso

Pada sebuah pagi, pagi yang manis. Seorang gadis terbangun dari sebuah mimpi yang membuatnya bersyukur telah dibangunkan lebih awal. Ada mimpi yang perlahan memburunya. Setelah semalam terlibat percakapan yang menyenangkan dengan sahabat lamanya.

Pagi itu si Gadis sumringah, ia akan mendapatkan sepaket buku baru. Buka yang ia idamkan sedari lama. Setelah mandi dan bersiap-siap untuk pergi, ia melihat si Pembawa Harap berdiri di depan pintu dengan sebuah buku di tangan. Pastilah itu bukunya. Hati si Gadis berseru.

Yap, benar sekali itu buku yang sedang ia tunggu-tunggu. Si Gadis kerap kali bercerita tentang buku-buku yang ia sukai pada si Pembawa Harap. Maka saat si Pembawa Harap pergi pada Jumat malam untuk mencari sebuah cerita yang di bicarakan banyak orang berada di negeri sebrang Cina sana, ia akan semakin sering bercerita, berharap ia akan dibawakannya sebuah buku. Tentu saja si Pembawa Harap tak pernah berkeberatan untuk membantunya. Seperti pagi ini.

"Terima kasih". Si Gadis menarik ujung-ujung bibirnya. Berharap ia akan menyuguhkan senyum termanisnya.
"Sama-sama".
"Kopinya?" Tanya si Gadis, sesuai perjanjian. Setiap kali si Pembawa Harap membawakan sebuah buku, maka si Gadis harus juga menyiapkan secangkir kopi.
"Nanti saja." Si Pembawa Harap menunda kopinya.
"Okelah." Si Gadis melihat jam tangannya. Ohhh, udah siang ya. Pantesan. Gumamnya.

Kopinya padahal sudah terhidang, hanya saja belum ditunjukan kepada si Pembawa Harap. Maka, ketika si Pembawa Harap menundanya si Gadis kebingungan mau diapakan kopi itu. Di lihatnya sekelilingnya, ada mesin pendingin--pembeku di sudut ruangan. Ide yang bagus sepertinya. Ia taruh kopi itu di sana. Mungkin saja akan ada yang menemukannya nanti. Pikir si Gadis. Ice Coffee.

Si Gadis siap bergegas pergi. Disimpannya buku itu pada keranjang sepedanya. Perlahan mengayuh sepedanya, perlahan melambungan lagi harap. Harap untuk masa depannya kelak. Sesekali ia lirik buku yang berada di keranjangnya. Maka merekah lagi senyuman di bibirnya. Semangat mengalir di kedua tangan dan kakinya. Begitupun ia tak hentinya bersyukur atas kebahagian sederhana yang ia alami pada pagi yang sederhana itu.



Share:
Read More

Pekerjaan Baru

Emmm... Bisa disebut setelah saya berpindah divisi dengan otomatis saya pun berpindah pekerjaan. Dan pekerjaan saya sekarang ini sangat awam bagi saya. Sangat. Jadi saya harus benar-benar belajar dan bekerja keras untuk dapat segera memahami pekerjaan saya sekarang ini. Dan demi apa pun pikiran dan waktu saya sangat tersita. Setelah pulang kerja saya benar-benar capek, jadi sayang sekali saya tidak dapat berlayar mengarungi lautan imaji.

Tapi saya rasa saya harus menjelaskan bahwa mungkin untuk hari-hari selanjutnya saya akan jarang berngoceh-ngoceh (nulis), jadi mohon untuk dimaafkan saja. Saya harus mengejar secepat saya bisa. Semoga dilancarkan dan dimudahkan. Amin.

Ceritanya ini perut sudah keroncongan, belum makan nasi sedari pagi. Jadi saya harus makan. Semoga saja saya bisa secepatnya mengoceh-ngoceh lagi. Amin.
Share:
Read More

Tak Semudah Dulu

Saat ini saya baru sadar, bahwa hati dan perasaan saya tak lagi seperti dulu. Tak lagi mudah seperti dulu. Sebuah kenyataan yang saya sangkal sedari dulu. Saya tidak rela melepas segala rasa, saya tidak rela melepas segala peka. Namun ternyata seperti inilah saya sekarang. Tak ada yang bisa dipaksakan dengan hati.

Mungkin terlalu banyak di tempa membuat ia mempertebal pelindungnya. Secara otomatis. Tapi, tak apa. Mungkin dengan ini segala hal bisa dilihat dengan bijak. Semoga.

Saya harus menyukuri segalanya. Hikmah selalu menyenangkan jika dinikmati. Sadar bahwa segalanya memanglah kehendak-Nya.
Share:
Read More

Tentang Sayap

Aku menyimpannya di langit. Sebuah mimpi tentang kebahagiaan sederhana. Memiliki sebuah keluarga dengan segala hal yang cukup.

Sebuah mimpi sederhana memang. Namun tetap kugantungkan ia di langit. Aku harus memilik sayap untuk menggapainya, menggenggamnya dengan nyata.

Mungkin pikiranku memanglah sederhana. Tapi, inilah aku. Saat ini aku sedang mengumpulkan bulu-bulu, agar kelak bisa menerbangkanku menuju sesuatu yang kusimpan di langit sana.

Perjalanan menemukan bulu-bulu tak mungkin mudah. Ini hidup, tidak ada yang mudah dengannya. Namun, keyakinan terhadap-Nya adalah penguat terbesar untukku. Dan aku yakin, aku memilikinya.
Share:
Read More

Bermain dengan Entah

Tapi, seperti ini kadang lebih menyenangkan. Aku jadi banyak pekerjaan. Seperti halnya menerka-nerka tentangmu terus menerus.

"Sedang apa kamu?"
"Sedang memikirkan apa kamu?"
"Selama apa kau ingin berdiam diri di kepalaku?"
"Selama apa kau berjalan-jalan di mimpiku?"
Atau,
"Kapan kau akan berhenti men-tak-beraturan-kan perasaanku?"

Ya, aku kadang memang senang bermain dengan entah. Kurasa kau juga. Tapi itu kadang-kadang. Karena biasanya, selalu ada yang membosankan dari hal yang terus menerus. Kurasa memang hidup selalu seperti itu. Harus berada dalam naik-turun yang menyenangkan atau tak menyenangkan sekalipun. Namanya juga hidup. Betul, bukan?

Share:
Read More
,

Jadilah Pagi

Tuan, Jadilah pagi
Pemilik sederhana dari bumi
Pemilik zat sejuk sisa-sisa pekatnya langit

Tuan, Jadilah pagi
Agar kuterbangun dari mimpi
Agar kutemui kau setiap hari

Tuan, Jadilah pagi
Kenyamanan surgawi
Yang tercuri dari malam tadi

Tuan, jadilah nyata yang ada
Jangan digemari berada terus dalam mimpi
Share:
Read More
,

Dua Mata

Aku punya mata
Bahkan ia ada dua
Satu nyata dan satu kasat mata
Keduanya melihatmu dengan seksama
Tentangmu diantara jarum-jarum berdetak

Pangandaran, 17042013
Share:
Read More

Ini (Bukan) Sesal

Aku pengingat yang baik, karena aku penyuka kenangan.
Aku menerka-nerka apa pernah kau membuka blogku? Apa kau mengetahuinya? Apa kau tahu juga, aku menuliskan sedikit tentangmu di sini? Tapi kurasa sepandai apapun aku berintuisi, aku tak akan pernah menemukan jawabannya.

Mungkin kau memang tak tahu. Ya benar, darimana kau bisa mengetahuinya.

Apa kamu tahu, tentangmu masih selalu melahirkan banyak pertanyaan? Dan bodohnya aku, aku masih segemar ini menunggu, menunggumu menjawab semua pertanyaan itu. Padahal, bertemu denganmu pun masih entah.

Apa kamu tahu, banyak sekali yang ingin aku bicarakan denganmu? Ada banyak desakan yang  semakin hari semakin menambah lebam dibagian-bagian hatiku. Aku tak bisa membaginya. Yang aku ingat ini hanya tentang aku dan kamu.

Apa kamu tahu, apa yang telah kita lakukan kemarin, apa yang telah menjadi kenangan itu, apa yang telah menjadi penghujung pertemuan kita itu adalah hal terburuk yang kita ukir di catatan harian kita?

Dan apa kamu tahu juga, bahwa indah yang sebelumnya itu menjadi tak begitu berarti ketika aku harus mengingat ujung yang tak baik itu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengenalmu dengan baik, dan kita memulai dengan baik pula. Kita bersahabat dengan sangat baik.

Tapi, aku selalu mengatakannya tidak apa-apa. Itu bukan hal terburuk yang pernah menimpaku. Aku masih bisa berpura-pura untuk tidak mengingatnya.

Aku harap kelak kau akan datang jika memang kau sudah siap. Aku masih akan terus menunggu. Tak apa jika ingin dengan perempuanmu. Aku selalu pandai berpura-pura, kau tak perlu khawatir. Dan jangan bertanya jika kelak cangkir di mejaku masih saja tak sepasang.

Aku tak ingin menyebut ini penyesalan. Aku tak pernah ingin menjadi seorang penyesal. Aku selalu akan menjadi seorang yang bersyukur, sekalipun itu buruk yang menjadi kemarinku. Aku selalu mencoba untuk itu. Selalu, bahkan mungkin untuk selamanya. Aku tak pernah ingin kalah.
Share:
Read More

Lelaki Pagi dan Kertas-Kertasnya

Aku tak tahu seberapa pandai ia tertawa hingga membuatku ikut tertawa atau berpura. Ia memaksaku hilangkan gundah dan gaduh di kepala. Ia bahkan tanpa nama, namun aku bisa mengartikannya tanpa tanya.

Ia lelaki yang kutemui pada pagi di bulan Desember tahun lalu. Hanya berpapasan lebih tepatnya. Ia mengayuh sepeda saat itu, dengan desah suara yang keras, namun ia sama sekali tidak tampak lelah. Bahkan saat kertas-kertas itu ia lempar ada raut puas yang tidak dapat aku mengerti.

Saat itu, saat pertama kali melihatnya aku tak mengapa, aku abaikan ia, bahkan ia tak penting. Namun pada ke esokan harinya ia tersenyum, bahkan menyepa untuk hari selanjutnya. Mungkin karena aku dan dia sering berpapasan dan baginya itu sudah cukup mengakrabkan kami, tapi bagiku itu tidak. Ia terlalu lancang untuk hari-hari selanjutnya. Jika saja ada pilihan, aku ingin melewati jalan lain.

Di suatu pagi lagi aku membawa pesanan susu banyak. Di kanan dan kiri tanganku ada keranjang susu yang berisikan 15 botol di masing-masing keranjangnya, dan aku sedikit tergopoh. Lagi-lagi aku berpapasan dengannya. Ia memelankan laju sepedannya kali itu padahal di keranjang sepedanya masih banyak kulihat kertas-kertas yang biasa ia lemparkan. Padahal demi Tuhan waktu itu aku sangat tidak ingin berdebat. Namun, ia malah membalikan sepedanya mengayuh mengikutiku.

"Perlu bantuan?" Tanyanya riang kala itu.
"Tidak usah." Jawabku tegas. Aku bergegas pergi. Mengakhiri basa-basi yang tak penting itu. Namun, tiba-tiba saja, keranjang susu di tangan kiriku terangkat.
"Sini biar aku bantu saja. Jangan keras kepala. Keringat sudah membanjiri tubuhmu, nanti bisa-bisa susunya malah bau keringat." Candaannya kali ini benar-benar yang terburuk. Aku tak menyukainya.
"Sembarangan." Tukasku.
"Makanya, sini!"

Aku menyerah kali ini. Aku memang sudah terlalu berkeringat. Dia tersenyum menang. Tapi, sepedanya kemana ia taruh? Dan bagaimana dengan kertas-kertas di keranjangnya? Aku berbalik memastikan. Dan benar saja kertas-kertasnya sudah tidak ada. Jangan-jangan ada yang mengambil. Aku mempercepat langkahku, mensejajarkan dengannya.

"Kertas-kertasmu kemana?" Aku bertanya resah.
"Kertas-kertas?" Ia nampak heran.
"Em, maksudku koranmu."
"Oh... Nih." Ia menunjukan tas lusuhnya.
"Huft... Syukurlah."
"Kamu kenapa?" Dahinya mengkerut.
"Bukan apa-apa." Aku menggeleng dengan tegas. Memamerkan bebarisan gigiku yang rapih.
"Gitu dong! Senyum kek dari tadi." Ia mencubit pipiku. Sakit. Tapi aku menyukainya, seperti halnya ia mengacak-acakan rambutku. Mungkin ia juga tahu.

Semenjak itu, hari-hariku terisi penuh olehnya. Namun aku tidak pernah ingin mengetahui namanya. Aku lebih suka menyebutnya Lelaki Pagi. Sebab tak ada yang abadi, begitupun dia.
Share:
Read More
,

Esok Inginnya Aku Lupa

Perasaan takut itu membungkus pikiran tentang baik
Perasaan takut itu menuntun menjauhi biasan warna putih
Ini lagi-lagi tentang takut,
Kala kuyakini terjatuh itu sakit

Bolehlah jika aku menikmati saat ini,
Memandangi senyumannya
Asal esok aku lupa.

Bolehlah jika aku terbahak saat ini,
Menanggapi leluconnya yang konyol
Dan esok aku lupa.

Bolehlah dadaku berdebar saat ini,
Menyapanya dengan bersemu
Kemudian esok aku lupa.

Segalanya boleh saja saat ini,
Tapi esok aku ingin lupa.

Aku takut pada ejaan yang berada di hatinya. Tentang sebuah nama.
Share:
Read More

Saat Pertama

Ini hari awal
Pungungnya menjauh meninggalkan jejak
Ronggak yang kemarin punya isi
Bersiap menganga kembali


Ini tentang drama yang didramatisir
Duka yang tak seharusnya dikalapi
Jejaknya akan berjejak pada tanah lain
Tanah yang dulu sempat kupijaki

Sunggingan senyum yang dipaksai
Akan memberatkan si empunya punggung yang beranjak pergi

Hal seperti ini akan terus berulang
Sampai dimana kau fasih mengejanya
Sampai dimana tak akan lagi kau temukan rasa perih
Setiap kali belati yang kau pegang menusukmu sendiri


-pnd, 20032013
Share:
Read More

Terima Kasih

Boleh kah jika aku merasa senang? Bukan, bahkan ini tak hanya sekedar senang, ada bunga-bunga yang ikut merekah juga, pun pipi yang merona merah , dan bergumulnya sekawanan kupu-kupu. Tapi, jantungku tak berdebar karena tak kuijinkan ia untuk melakukannya. Ini bahagia. Kurasa hanya itu.

Ini pertama, pertama kalinya ada seseorang yang menghadirkanku dalam ceritanya. Aku hanya merasa senang, cukup bahagia. Aku ingin mengucapkan terima kasih banyak sekali karena telah mengahdirkan aku ada tak hanya dalam kisah-ceritaku sendiri.
Share:
Read More
,

Kalap Lagi

Kalap lagi ia pada sesosok yang punggunya semakin samar terlihat. Dadanya perih dari derap langkah kaki yang semakin menjauh. Harus seberapa fasih ia mengeja kepergian? Hingga itu terus-menerus berulang.

Ia tak semudah itu percaya. Akan membutuhkan waktu lama untuk meyakinkan hatinya. Tapi setiap kali ia berhasil melakukannya maka sesering itu pula ia menatap punggung yang semakin menjauh.

Ia tak pernah bosan mengulang kaliamat:
"Setiap yang datang pasti akan pergi."
Ia telah seperti orang yang paling siap untuk ditinggalkan. Namun, pada kenyataannya--seperti tetap lah seperti--ia akan tetap menjadi orang terapuh dalam hal ini.

Ia tak tahu harus seberapa banyak ia ditinggalkan, hingga ia ada untuk terbiasa.

-pnd, 24032013
Share:
Read More

Tak Akan Pernah Berakhir

"Aku hanya ingin mengatakan perjalanan ini tak akan ada ujungnya, tak akan pernah berhenti, sekalipun esok mata ini tertutup."

 - Selamat datang April -

- pnd, 01042013
Share:
Read More
,

Terjebak

Ada rekah bahagia dan kelegaan, namun ada juga yang menyudutkan perih diujung hati. Aku mengetahuinya sekarang, bahkan sejujurnya sejak awalpun aku telah mengetahuinya. Hanya saja sebelum ini aku belum meyak ini seutuhnya.

Hal seperti ini terulang kembali seperti dua tahun lalu, dan aku akan terjebak di dalamnya. Meyakini hati sendiri, dan membimbangi apa yang ada di depan mata.

Ini sebetulnya menyenangkan, begitu menyenangkan, dan ia memang benar "kita kadang terjebak di dalamnya". Sekalipun ia tak mengatakannya aku telah mengetahuinya sejak lama, jauh sebelum senja itu, aku telah mengalaminya sendiri.

Mungkin ini terjadi 'lagi', lagi-lagi karena aku belum fasih mengejanya. Tapi sungguh aku akan belajar dan tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Tak lagi ingin keliru pada pesinggah yang kehausan dan kelelahan. Mereka hanya perlu tempat untuk tinggal sejenak dan minum, membagi satu-dua cerita yang telah ia lalui, dan jika ia sudah selesai ia pergi. Aku hanya akan membantunya saja, dan tak lagi ingin memberi mereka lebih. Terlalu jauh nanti jika aku harus mengejar hatiku kembali, karena telah ia bawa pergi.
Share:
Read More
, ,

Catatan Kecil

Catatan kecil ini untuk mengingatkan waktu kelak. Karena kebanyakan ia seringkali melupakan suatu hal begitu saja, baik itu momen berharga atau bahkan jika itu tidak.

Ini tentang kebahagiaan kecil, saat keikhlasan datang untuk merelakan bibir menyunggingkan senyum untuk satu hal yang pernah melukai hati. Seperti halnya satu-dua manis dari perbincangan kecil tentang dirinya, mimpi-mimpinya dan masa depannya.

Ini tentang pagi buta ketika tercium wewangian embun, melumerkan sejuk di hati ketika melihatnya dalam balutan mata lugu, masih dalam setengah terpejam baru saja menyadari mimpinya.

Ini tentang siang yang biru, matahari yang tertawa lebar pada sebagian awan yang berarak, ketika sekawanan kupu-kupu mencubit-cubiti perut, mengelilingi tubuh yang melambung atas satu-dua tatap yang tidak disengaja.

Ini tentang senja yang masih tetap jingga dengan tambahan ornemen-ornamen yang menyenangkan dibilik dada. Seperti halnya tawanya yang membuncah, menertawakan satu hal yang tak pasti tentang apa yang disebut kita.

Ini tentang malam pada rintik-rintik gerimis yang membasahi punggung aku dan ia.

Catatan ini catatan yang kuselesaikan saat berkumandangnya adzan Ashar. Karena mungkin saja akan kutemukan ia jika saja kujamah Rumah Allsh di seberang jalan.
Share:
Read More
, , ,

Meski Akan Kembali pada Semula

Ada lagi yang meretas senyum
Bunga bermekaran pada taman waktu
Bergumulnya kembali sekawanan kupu-kupu
Perlahan dengan malu-malu
Seperti waktu yang telah lalu

Ada lagi rona yang memerah di pipinya
Ada lagi letupan-letupan lincah di hatinya
Dan kini ia sambut kembali asa yang dulu sempat pergi dan tak mau kembali

Ia tahu esoknya mungkin saja serupa
Selalu akan kembali pada semula
Tapi baginya kali ini tidak bisa diabaikan
Ia ingin menikmatinya
Mempertahankannya untuk waktu yang mungkin bisa cukup lama

Ia merekam lagi rupa rembulan
Disimpannya pada malam setelah purnama
Ia ingin tidurnya dalam nyenyak
Setelah sapuan ingatan rupa kemarin yang ia simpan
Share:
Read More
,

Dendy Mike's - 2 Manusia



Ciptaan: Dee Lestari 
Aransemen: Andhika Triyadi.

Meski jalan ini masih kan trus berputar
ujung jalan ini kau dan aku yang tau
semua yang tertawakan kita

akan berbalik berharap menjadi kita

meski awan ini masih trus membayangi

warna langit ini sejatinya kita tau
ada dua bintang tuk kau dan aku
menanti kita kembali tuk bersama


reff :
di angkasa terlukislah kisah kita
dua manusia yang berputar demi cinta
mungkin cuma aku dan kamu

tak terberdaya berkat badai ini
mungkin cuma aku dan kamu

yang percaya semua ini kan jadi nyata, kan jadi nyata, oh...

meski langkah ini kadang bertambah berat
sudikah kau tunggu, relakah kau melepasku


di angkasa terlukislah kisah kita
dua manusia yang berputar demi cinta
mungkin cuma aku dan kamu

tak terberdaya berkat badai ini
mungkin cuma aku dan kamu

yang percaya semua ini kan jadi nyata, kan jadi nyata..
mungkin cuma aku dan kamuuu..


Share:
Read More
, ,

Kembali Pada Sepi

Mesin pencari yang tak punya hati
Sesakit itu ia menandai
Atas gagal yang selalu sesal
Menggantungkan harga tanpa layak

Ia menangis menatap punggu mereka yang pergi
Meringis saat tak satu pun luka yang berhasil terobati
Melihat nganga yang tak juga tertutupi
Hanyut dalam sendiri yang digilai sepi

Ia tidak tahu seperti apa tatapan di sebrang
Sekiranya itu yang membuatnya serasa terbang
Namun sakitnya di esok serasa meradang
Karena lupa kembali ia pada pulang

Ahhh...
Biarkan saja yang telah pergi bepergian
Biarkan saja yang telah lalu berlaluan
Biarkan saja sepi yang kembali menemani malam
Karena mimpi masih bisa indah jika terpejam

Doaku menyertai kalian para relawan

Share:
Read More
,

Ia Selamat

Berhenti lagi ia pada sunyi
Pada bebatuan licin di gunung yang tertetesi rintik hujan
Batu kokoh untuk diinjak
Namun sayang, batu itu tetap batu yang tertetesi hujan
Licin

Mengarah menuju puncak
Namun terseret tebing curam
Tengadah lagi menatap langit
Lagi-lagi itu pada biru
Takdir yang diyakininya sendiri

Tergelantung ia pada akar dari pohon
Hendak terjatuh pada karang menjulang di lautan
 Andai saja ia lalai dan menyerah
Mengendurkan pegangannya
Demi untuk terjatuh pada biru kedalaman

Namun kembali lagi ia tengadah
Pada biru langit yang luas membentang
Ia putar pikirannya
Memanggil nyawa terbang untuk selamat

Pejamaan matanya menghantarkan ia pada terik puncak gunung
Tiba-tiba saja terhenyak pada mimpi di siang bolong
Mengitarkan mata pada hamparan hijau tertutup awan tipis
Mengirup mimpinya dalam-dalam
Ia simpan itu udara untuk pencapaian

Diraihnya uluran tangan pada sadarnya
Memamerkan bebarisan gigi rapi pada nyaman di depannya
Merangkulnya, menyakini kelak pada esok
Mempercayai, tatapan mata teduh dambaannya

Dan ia selamat.

Share:
Read More
, , , ,

Semula

  1. Tidak ada bahasa dalam sajak kita
    Ia hanya mempunyai isyarat yang selalu tanpa nama
    Ada kekecilan yang mengkerutkan
    Ada kebesaran yang melambungkan
    Jelas saja pagi selalu tanpa warna
    Dan langit tetap saja dalam biru

  2. Aku lebih suka menatap senja
    Berpengharap pada pagi yang esok
    Semburat yang jingga tanpa kelabu
    Jujur dalam tanya
    Meski ia tanpa matahari di dalamnya

  3. Ketika hujan dalam sesekali
    Wewangian tanah basah selalu menyesakan dada
    Benar itu tetang kepergian
    Dan selalu tentang hal itu

  4. Ada secangkir kopi pada pagi kembali
    Kemudian aromanya mengalirkan nyaman dalam sendiri
    Selalu sepi dalam tenangnya pagi

  5. Pada sore tanpa kesengajaan yang lalu
    Ada penyuka senja sepertiku
    Mengintip lembayung pada bilik sebuah kaca

  6. Kemudian ia mengajak sepi
    Menikmati suguhan panorama dalam dua gelas kopi
    Merapihkan asa yang sempat tak mau kembali

  7. Kemudian esok pada Kamis
    Ia datang dengan tatapan mata elang, pemburu
    Ya, ia katakan memburu matahari
    Tak sepertiku yang memburu senja

  8. Kemudian lagi pada ke esokan harinya
    Tiba-tiba saja tak lagi ada tanya
    Kami kembali lagi pada diam
    Tak lagi ada bahasa dalam sajaknya
    Seperti isyarat yang selalu tanpa nama
    Semula.

Share:
Read More
, , , ,

Senja dengan Sepasang Gelas Kopi

Ada ketidaksengajaan yang menyenangkan pada sore-sore kemarin. Seberkas catatan kecil pada dairy usang 1 tahun lalu. Sebuah sapaan yang mengingatkan kembali untuk pulang. Senja yang menyenangkan dengan sepasang gelas kopi.

Jembatan perapih asa

Dan untuk senja itu pengecualian, kopi tidak hanya tentang kesendirian.




Suguhan panorama indah pada langit senja di Pangandaran.

Terkadang sebuah sapaan memang hanya sapaan. Itu berlangsung untuk satu-dua waktu yang singkat. Namun, terima kasih untuk senja yang sangat menyenangkan ini.



Share:
Read More
, ,

Ngubek Pangandaran Part II

Next Trip Batukaras Beach and Madasari Beach

Sebetulnya kami merencanakan ke Citumang, namun karena kendala beberapa hal akhirnya kami memutuskan untuk menikmati air asin saja dari pada air tawar. Hehehe. Jadilah kami berangakat ke Pantai Batukaras.
 
Sebetulnya Pantai Batukaras itu tidak terlalu indah, hanya saja jika hobi kalian adalah berenang. Maka kalian akan terpuaskan di sini.

 Peralatan bersenang-senang ===>> Ban dan Buggie.



Setelah puas berenang kami berjemur dan makan perbekalan seadanya.


Karena waktu yang masih lumayan cukup banyak akhirnya kami rasa tidak ada salahnya jika melanjutkan perjalanan. Dan kami menjatuhkan pilihan untuk ke Pantai Madasari. Padahal yaaa jauhnya minta ampun. Belum lagi hujan, belum lagi jalanan yang super ancur. Tapi dengan tekad kami tetap melanjutkan.



Karena hujan kami berteduh dan membuat pembakaran, lumayanlsh untuk menghilangkan dingin.


Flying without wings


Dan ini adalah tebing Pantai Madasari. Untuk mencapai puncak, kami benar-benar harus berjuang karena gerimis masih terus berjatuhan, dan otomatis membuat jalanan yang kami lewati menjadi licin.
Tapi setelah mencapai puncak kelelahan kami terbayarkan semua.
Untuk perjalanan kali ini, disudahi dulu. Semoga saja ada kesempatan lain lagi untuk ngubek-ngubek kota lain. Aminnnn... ^^





Share:
Read More
, ,

Ngubek Pangandaran part I

Sekarang saya jarang nulis ya. Hmm, memang semenjak pulang dari Malinau energi menulis saya jadi menurun salah satu sebabnya karena modem saya raib entah di mana, saya pun lupa. Inget-inget pas udah di Pangandaran modemnya mau saya pake ternyata sudah tidak ada di tas. Ya sudah deh...

Tapi kali ini saya harus menulis, karena saya punya cerita  yang sangat sayang kalau harus di lewatkan.

1. Perahu-perahu, Pasir Putih, Rusa dan Kera

 Pada Minggu sebelumnya tepatnya tanggal 10, saya untuk pertama kalinya ber-snorkeling ria, dengan formasi lengkap kamar B4 (nomor kamar Messku) dan 2 orang agen PPC. Tentu saja seperti biasa saya selalu bersemangat untuk melakukan hal-hal baru, tidak terkecuali untuk yang satu ini. Dengan alat bantu seadanya, senorkel dan pelampung, kami menuju ketengah laut untuk memulai aksi. Dengan tidak ragu-ragu saya nyemplung. Namun, ketika saya mencoba untuk menyelam saya tidak bisa bernafas. Belum juga melihat terumbu karang dan ikan-ikan saya sudah muncul lagi kepermukaan. Tapi saya tidak menyerah. Saya coba lagi, daaannnn sama saja saya masih belum bisa bernafas juga. Hingga saya mencoba lagi dan malah memasukan air laut yang super asin itu kehidung. Di situ saya benar-benar menyerah. Tidak mau lagi. KAPOK. Dan saya memutuskan untuk melepas pelampung saya, jadilah berenang-renang di tengah lautan. Yaaa, dari pada melongo gak jelas kan.


Setelah capek berenang-renang di lautan (yang lain sih snorkeling hehehe) kami menepi dan di lanjutkan dengan main pasir terus jalan-jalan ke Cagar Alam.



 Ketemu para rusa dan kera



Setelah keliling-keliling di Cagar Alam minus masuk, gua kami pulang. Ya, soalnya perut sudah rame nyanyi-nyanyi keroncong dan badan rasanya sudah sangat susah ditopang.

Setelah ini ada lagi Batukaras dan Madasari Beach.... ======>>



Share:
Read More