Di sebuah pagi yang buta perjalanan yang panjang sudah tercium berbaur dengan wangi aroma embun. Bermula dengan berjalan menyusuri gang-gang tempat hilir mudiknya para tikus, kemudian pada pinggir-pinggir toko yang becek dengan sampah plastik berserakan, ia memulai harinya.
Memilah dan memilih mana kedai kopi yang seukuran dengan 2 lembar lima ribuan yang kusam dan lusuh dipojok kantung kemejanya, dan paling tidak sedikit asri dan nyaman. Baginya tempat seperti itu dengan secangkir kopi sudah lebih dari cukup memberinya kesempurnaan pagi. Karena jalanan ibukota memberikannya energi pada setiap sudut yang ia pandangi.
Ia bukan pengamen yang menenteng sebuah gitar atau kecrek, atau pengemis dengan gelas plastik aquanya, atau ia wanita yang berdandanan menor dengan baju dan rok yang setengah jadi, bukan seperti itu. Ia hanya seorang pecinta sastra yang senang bersajak dan senang mengelilingi ibukota, dan ia hanya membawa beberapa lembar kertas lusuh berisikan tulisan-tulisan yang ia tulis dengan tangannya sendiri pada malam-malam yang selalu panjang. Berteriak lantang mendendangkan isi hatinya. Kemurkaannya pada matahari, pada awan, pada mendung yang tak segera gugur, dan pada debu-debu yang mengotori kulit dan pakaiannya.
Ia senang pagi ini karena ia bisa bangun dalam pagi buta. Dipilihnya tempat duduk paling pojok yang bersebelahan dengan jendela. Jendela adalah bonus pagi yang luar biasa baginya. Ia bisa melihat dunia lewat sana. Dunia yang selalu tampak berbeda.
Tak seberapa lama setelah ia meneguk kopi yang berada di atas mejanya, ia mencium wewangian yang merusak jaringan di persendiannya. Melemaskannya dan menerjunkannya jatuh kembali pada ingatan lalu. Ryan. Bisiknya pada Tuhan.
Lelaki itu yang mengalirkan nyeri pada wangi aroma tubuhnya duduk tepat di depan mejanya. Ah... Ternyata bukan. Tentu saja bukan, karena Ryan berpendapat hidup bersama Tuhan dalam waktu kapanpun adalah sebuah pilihan, dan ia mempasrahkan diri pada batu karang menjulang dengan ombak yang berdebur kencang. "Lelah" Ryan selalu berkata.
Lelaki itu menatapnya tak berkedip. Risi diperlakukan seperti itu ia memalingkan wajahnya, dan berniat segera bergegas. Namun lelaki itu mendekat, ia menoleh dan menemukan senyuman yang begitu tak asing di wajah lelaki itu. Oh Tuhan... Ia merapihkan kertas-kertasnya dan segera bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu Nona!" Lelaki itu bersuara dengan sangat nyaman terdengar di telinga.
Ia hanya tersenyum dan tak berniat sama sekali untuk duduk kembali.
"Nona, ini masih terlalu pagi untuk membisingi Ibukota, tak ada yang akan mendengar, mereka masih tertidur." Tambah lelaki itu, membuat ia berpikir untuk mengurungkan niatnya.
"Duduklah sebentar dan ceritakan kepadaku tentang Ibukota dalam kertas-kertas lusuhmu." Ujar lelaki itu setelah melihat ia ragu untuk melanjutkan langkah kakinya.
"Oh ya, saya Angga." Lelaki yang berada di depannya itu menyodorkan tangannya.
"Saya hanya gadis yang berpakaian dekil dan hanya kertas-kertas ini yang saya punya." Ia menimpali dengan menundukan wajahnya, tanpa menjabat tangan Angga.
"Oke." Angga menurunkan tanggannya dengan yakin. "Saya sudah sering melihat Anda di tempat ramai dan bus-bus dengan kertas-kertas itu. Namun yang saya heran adalah kenapa di setiap harinya apa yang berada di kertas lusuhmu itu berbeda?" Lanjutnya.
"Itu bukan urusanmu."
"Ya memang, tapi bukannya tidak apa-apa jika sedikit berbagi dengan seorang teman?"
"Saya bukan teman Anda. Permisi." Akhirnya ia benar-benar memutuskan akan pergi karena muak dengan sikap sok kenal yang ditunjukan lelaki itu.
"Tunggu sebentar, Nona!" Angga menggenggam pergelangan tangannya. "Jika saya belum menjadi teman Anda, bolehkah jika saya memulainya semenjak saat ini?"
Ia melepaskan genggaman Angga dan menatap lelaki itu beberapa saat. Kemudia pergi dengan segera. Membawa sedikit heran akan degup dijantungnya yang sedikit berlebih.
Memilah dan memilih mana kedai kopi yang seukuran dengan 2 lembar lima ribuan yang kusam dan lusuh dipojok kantung kemejanya, dan paling tidak sedikit asri dan nyaman. Baginya tempat seperti itu dengan secangkir kopi sudah lebih dari cukup memberinya kesempurnaan pagi. Karena jalanan ibukota memberikannya energi pada setiap sudut yang ia pandangi.
Ia bukan pengamen yang menenteng sebuah gitar atau kecrek, atau pengemis dengan gelas plastik aquanya, atau ia wanita yang berdandanan menor dengan baju dan rok yang setengah jadi, bukan seperti itu. Ia hanya seorang pecinta sastra yang senang bersajak dan senang mengelilingi ibukota, dan ia hanya membawa beberapa lembar kertas lusuh berisikan tulisan-tulisan yang ia tulis dengan tangannya sendiri pada malam-malam yang selalu panjang. Berteriak lantang mendendangkan isi hatinya. Kemurkaannya pada matahari, pada awan, pada mendung yang tak segera gugur, dan pada debu-debu yang mengotori kulit dan pakaiannya.
Ia senang pagi ini karena ia bisa bangun dalam pagi buta. Dipilihnya tempat duduk paling pojok yang bersebelahan dengan jendela. Jendela adalah bonus pagi yang luar biasa baginya. Ia bisa melihat dunia lewat sana. Dunia yang selalu tampak berbeda.
Tak seberapa lama setelah ia meneguk kopi yang berada di atas mejanya, ia mencium wewangian yang merusak jaringan di persendiannya. Melemaskannya dan menerjunkannya jatuh kembali pada ingatan lalu. Ryan. Bisiknya pada Tuhan.
Lelaki itu yang mengalirkan nyeri pada wangi aroma tubuhnya duduk tepat di depan mejanya. Ah... Ternyata bukan. Tentu saja bukan, karena Ryan berpendapat hidup bersama Tuhan dalam waktu kapanpun adalah sebuah pilihan, dan ia mempasrahkan diri pada batu karang menjulang dengan ombak yang berdebur kencang. "Lelah" Ryan selalu berkata.
Lelaki itu menatapnya tak berkedip. Risi diperlakukan seperti itu ia memalingkan wajahnya, dan berniat segera bergegas. Namun lelaki itu mendekat, ia menoleh dan menemukan senyuman yang begitu tak asing di wajah lelaki itu. Oh Tuhan... Ia merapihkan kertas-kertasnya dan segera bangkit dari tempat duduknya.
"Tunggu Nona!" Lelaki itu bersuara dengan sangat nyaman terdengar di telinga.
Ia hanya tersenyum dan tak berniat sama sekali untuk duduk kembali.
"Nona, ini masih terlalu pagi untuk membisingi Ibukota, tak ada yang akan mendengar, mereka masih tertidur." Tambah lelaki itu, membuat ia berpikir untuk mengurungkan niatnya.
"Duduklah sebentar dan ceritakan kepadaku tentang Ibukota dalam kertas-kertas lusuhmu." Ujar lelaki itu setelah melihat ia ragu untuk melanjutkan langkah kakinya.
"Oh ya, saya Angga." Lelaki yang berada di depannya itu menyodorkan tangannya.
"Saya hanya gadis yang berpakaian dekil dan hanya kertas-kertas ini yang saya punya." Ia menimpali dengan menundukan wajahnya, tanpa menjabat tangan Angga.
"Oke." Angga menurunkan tanggannya dengan yakin. "Saya sudah sering melihat Anda di tempat ramai dan bus-bus dengan kertas-kertas itu. Namun yang saya heran adalah kenapa di setiap harinya apa yang berada di kertas lusuhmu itu berbeda?" Lanjutnya.
"Itu bukan urusanmu."
"Ya memang, tapi bukannya tidak apa-apa jika sedikit berbagi dengan seorang teman?"
"Saya bukan teman Anda. Permisi." Akhirnya ia benar-benar memutuskan akan pergi karena muak dengan sikap sok kenal yang ditunjukan lelaki itu.
"Tunggu sebentar, Nona!" Angga menggenggam pergelangan tangannya. "Jika saya belum menjadi teman Anda, bolehkah jika saya memulainya semenjak saat ini?"
Ia melepaskan genggaman Angga dan menatap lelaki itu beberapa saat. Kemudia pergi dengan segera. Membawa sedikit heran akan degup dijantungnya yang sedikit berlebih.

.jpg)


























